Senin, 23 Desember 2013

Masa Lalu



Prolog:
Gerrald memandang ke sekeliling. Sepi. Tidak ada siapa-siapa disana. Yang perlu dia lakukan hanyalah mengucapkan mantera itu tiga kali dan timezone ke peradaban Romawi Kuno untuk merampungkan observasi tesisnya akan terbuka lebar. Bla bla bla. Cahaya warna-warni kemudian berpendar mengitari dinding gua berselimut lumut yang mengeras itu. Ia menyentuhnya pelan, namun seolah memasuki lubang hitam, tubuhnya tertarik kedalam tanpa bisa melawan gravitasinya. Yang terakhir dilihatnya hanyalah lorong waktu kecil yang membawanya ke dimensi baru. Ia berhasil.
BAB I (Gerrald’s Novel)
            Mari kita bercerita tentang kisah dan seteguk kopi yang kunikmati lamat-lamat di depan jendela besar itu. Hari itu sedang turun hujan dan kita sengaja singgah di salah satu kedai kopi untuk berteduh. Kamu memesan frapucino sedangkan aku pasti akan memilih secangkir kopi hitam dengan sesendok gula. Tidak sampai sepuluh menit, pesanan kita akhirnya tiba. Kopi itu akhirnya menemaniku mengenang tentang segala hal yang mengitari hidup kita dengan indah. Tentang asa dan impian. Tentang butir-butir hujan yang memenuhi lekukan dedaunan.Tentang senja yang memerah di ufuk barat. Tentang kisah Cleopatra dan Julius Caesar. Kisah yang tak habis termakan jaman. Kini kukembalikan kenanganmu tentang bagaimana mereka bertemu, bertukar seulas senyum, berpadu, lalu dijatuhi cinta. Mereka yang ada di dua kubu berbeda, namun memiliki rasa yang sama. Ketika segala hal dilingkupi oleh rasa berjuta warna itu, pasti kamu akan merasa jutaan kupu-kupu memenuhi perutmu. Begitu juga yang terjadi pada mereka. Tapi mereka berbeda, jelas berbeda, namun segala hal akan terasa sama, cinta. Pernahkah kau dengar bagaimana sulitnya pergulatan hati sang kaisar Romawi itu antara tahta dan cinta? Iya, cinta memenangkan segalanya. Selalu.
            Dunia memang memandang kisah itu sebagai picisan biasa. Omong kosong. Salah satu taktik Cleopatra agar Romawi tak berusaha menjatuhkan kedudukannya sebagai ratu Mesir. Namun  bagiku cinta tetaplah cinta, sekalipun diawali dengan kebohongan dan tipu muslihat. Ia akan mengalir apa adanya, menjatuhkan pilihan pada seseorang yang ada diluar dugaan kita. Ya, kadang-kadang dahi kita akan berkerut saat semakin jauh kita membaca setiap sejarah yang terukir dalam papyrus itu. Namun, yang perlu kau tahu adalah bahwa cinta itu tak bisa dikelabui, cinta itu memang tidak punya mata, namun ia memiliki hati. Ia kadang dimiliki orang yang salah, namun tidak dengan cara yang salah. Yang perlu kita luruskan adalah bagaimana agar cinta itu membuat orang yang salah bersikap dengan cara yang benar, karena cinta akan selalu menyempurnakan setiap jengkal kehidupan.
            Aku yang haus karena telah bercerita panjang lebar padamu, lalu kembali meneguk sisa kopi itu. Kopi itu awalnya manis, kental dan hangat. Namun, semakin kuteguk habis isinya, rasa pahit dan dingin mulai menyerang ujung lidahku, memenuhi kerongkonganku. Kopi hitam itu akhirnya tinggal seteguk lagi, namun kisah ini masih sangat panjang, jelas aku harus menyediakan puluhan cangkir kopi hitam agar aku bisa menuangkan semuanya dari awal sampai akhir. Aku akan melanjutkan kisah mereka berdua lain hari, saat kau dan aku punya waktu, rinai hujan dan puluhan cangkir kopi agar kisah ini tak putus lagi. Di saat itu kita akan menikmati setiap kata yang keluar dari bibirku dan semuanya akan terasa menyenangkan.
            Kau mau secangkir kopi yang sama atau malah menuangkan frapucino pesananmu ke cangkir kesayanganku?
            Gerrald memandang puas halaman akhir bab I di novel kelimanya. Novel yang rencananya ia akan selesaikan dalam kurun waktu empat bulan. Saatnya ia merenggangkan otot-otot bokong dan punggung yang terlalu lelah menopang tubuhnya. Sudah seharian jemarinya menari diatas keyboard laptopnya.
            Gerrald. Pria berusia 25 tahun yang cukup good looking . Tatapannya tajam tapi membuat siapa saja yang memandangnya terpana, dengan kedua mata yang memancarkan kehangatan untuk sekitarnya. Garis-garis rahang tegas yang ia miliki membuatnya terkesan berwibawa , namun kedua lesung pipi yang bertengger di wajahnya menampilkan sosoknya yang ramah. Kacamata yang membingkai wajah tirusnya melengkapi wajah innocent-nya, membuatnya terkesan smart. Koreksi, bukan terkesan smart, tapi ia memang cerdas. Peraih cumlaude di pendidikan jenjang S1 ini kini tengah sibuk merampungkan tesisnya.
            Perawakannya cukup tinggi dari rata-rata orang kebanyakan, 181 cm. Tubuhnya cukup berisi, namun jelas menyiratkan kerasnya kehidupan yang ia lalui selama hidup. Ia memang bukan dari keluarga berada. Keluarganya yang pensiunan PNS biasa hanya mampu menyekolahkannya hingga jenjang SMA. Ia lalu nekat, berusaha meraih gelar S1 dengan bekerja siang-malam di beberapa bidang pekerjaan. Menjadi pelayan? Ia sudah biasa. Menjadi pengantar koran? Setiap pagi ia geluti. Menjadi petugas pom bensin? Lumayan mengisi kocek pribadinya. Namun semua hal yang dilakoni kadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
            Akhirnya Tuhan mengulurkan tangan-Nya. Ia diterima sebagai novelis tetap di salah satu penerbit mayor ternama di Indonesia. Selain itu juga, berkat kerja kerasnya, ia telah memiliki usaha restoran pribadi di beberapa spot di Jakarta. Perlahan, pundi-pundinya terisi dan mencukupi biaya kuliahnya, dan sampai akhirnya ia sekarang hampir menyelesaikan pendidikan S2-nya.
            Di tengah perjuangan hidup yang keras itu, ia beruntung memiliki seorang Ghea, gadis berparas ayu yang menemaninya melewati hari-hari. Ia bertemu dengan Ghea saat mereka sama-sama duduk di semester 1. Ghea yang pertama kali mengutarakan perasaan yang dijawab Gerrald dengan seulas senyum. Awalnya Gerrald ragu, karena kabar yang diterimanya mengatakan bahwa Ghea adalah gadis yang suka mempermainkan hati laki-laki. Namun semakin lama ia mengenal Ghea, ia malah menaruh curiga pada orang-orang yang menyebarkan gosip hoax itu. Tidak mungkin gadis bertutur lemah lembut seperti Ghea bertingkah seperti itu.
            Sudah 7 tahun mereka lewati dan kini mereka sama-sama sedang sibuk kesana-kemari untuk menyelesaikan tesisnya. Ia mengambil judul “Peradaban Romawi Kuno, Antara Cinta dan Tahta”.
            Honey, kamu mau aku taburin keju atau kuoleskan selai kacang?” ucapan Ghea menyentaknya ke dunia nyata. Sudah berapa lama ia melamun?

-to be continued-