Selasa, 31 Desember 2013

Sebatas Kenangan


aku ingin menghambur ke arahnya.
memeluknya.
mengatakan aku begitu merindunya.
mengikrarkan aku telah jatuh cinta padanya.
membisikkan bahwa dia telah memilikiku seutuhnya
tapi tak mungkin.
dia tak ingin memelukku.
dia tak sedikitpun merinduku.
dia mencinta orang lain.
patah.
hatiku patah.
tiada yang sanggup memungut serpihannya.
aku tak sanggup membayangkannya.
dia menggandeng wanita lain.
dia memeluk seseorang, bukan aku.
aku membencinya, namun aku merindunya.
***
Mari kita bercerita tentang kisah dan seteguk kopi yang kunikmati lamat-lamat di depan jendela besar itu. Hari itu sedang turun hujan dan kita sengaja singgah di salah satu kedai kopi untuk berteduh. Kamu memesan frapucino sedangkan aku pasti akan memilih secangkir kopi hitam dengan sesendok gula. Tidak sampai sepuluh menit, pesanan kita akhirnya tiba. Kopi itu akhirnya menemaniku mengenang tentang segala hal yang mengitari hidup kita dengan indah. Tentang asa dan impian. Tentang butir-butir hujan yang memenuhi lekukan dedaunan.Tentang senja yang memerah di ufuk barat. Tentang kisah Cleopatra dan Julius Caesar. Kisah yang tak habis termakan jaman. Kini kukembalikan kenanganmu tentang bagaimana mereka bertemu, bertukar seulas senyum, berpadu, lalu dijatuhi cinta. Mereka yang ada di dua kubu berbeda, namun memiliki rasa yang sama. Ketika segala hal dilingkupi oleh rasa berjuta warna itu, pasti kamu akan merasa jutaan kupu-kupu memenuhi perutmu. Begitu juga yang terjadi pada mereka. Tapi mereka berbeda, jelas berbeda, namun segala hal akan terasa sama, cinta. Pernahkah kau dengar bagaimana sulitnya pergulatan hati sang kaisar Romawi itu antara tahta dan cinta? Iya, cinta memenangkan segalanya. Selalu.
            Dunia memang memandang kisah itu sebagai picisan biasa. Omong kosong. Salah satu taktik Cleopatra agar Romawi tak berusaha menjatuhkan kedudukannya sebagai ratu Mesir. Namun  bagiku cinta tetaplah cinta, sekalipun diawali dengan kebohongan dan tipu muslihat. Ia akan mengalir apa adanya, menjatuhkan pilihan pada seseorang yang ada diluar dugaan kita. Ya, kadang-kadang dahi kita akan berkerut saat semakin jauh kita membaca setiap sejarah yang terukir dalam papyrus itu. Namun, yang perlu kau tahu adalah bahwa cinta itu tak bisa dikelabui, cinta itu memang tidak punya mata, namun ia memiliki hati. Ia kadang dimiliki orang yang salah, namun tidak dengan cara yang salah. Yang perlu kita luruskan adalah bagaimana agar cinta itu membuat orang yang salah bersikap dengan cara yang benar, karena cinta akan selalu menyempurnakan setiap jengkal kehidupan.
            Aku yang haus karena telah bercerita panjang lebar padamu, lalu kembali meneguk sisa kopi itu. Kopi itu awalnya manis, kental dan hangat. Namun, semakin kuteguk habis isinya, rasa pahit dan dingin mulai menyerang ujung lidahku, memenuhi kerongkonganku. Kopi hitam itu akhirnya tinggal seteguk lagi, namun kisah ini masih sangat panjang, jelas aku harus menyediakan puluhan cangkir kopi hitam agar aku bisa menuangkan semuanya dari awal sampai akhir. Aku akan melanjutkan kisah mereka berdua lain hari, saat kau dan aku punya waktu, rinai hujan dan puluhan cangkir kopi agar kisah ini tak putus lagi. Di saat itu kita akan menikmati setiap kata yang keluar dari bibirku dan semuanya akan terasa menyenangkan.
            Kau mau secangkir kopi yang sama atau malah menuangkan frapucino pesananmu ke cangkir kesayanganku?
            Sam memandang puas halaman akhir bab I di novel kelimanya. Novel yang rencananya ia akan selesaikan dalam kurun waktu empat bulan. Saatnya ia merenggangkan otot-otot bokong dan punggung yang terlalu lelah menopang tubuhnya. Sudah seharian jemarinya menari diatas keyboard laptopnya.
            Ia lalu memandang lurus ke arah kalender di meja kerjanya. Tanggal 31 januari 2013 ditandai dengan spidol merah. Ada lambang hati terukir disana. Apa maksudnya? Ia  berusaha mencari memori yang menyimpan seberkas data tentang hari itu. Semakin ia berusaha menggalinya, denyutan kepalanya semakin menyiksa.
            Ada sesuatu yang hilang.Ya, sesuatu tentang hari itu. Ia sendiri tidak tahu apakah yang hilang itu dan apakah itu penting atau tidak.  Ia kemudian berjalan menuju jendela di kamarnya, memandangi rinai hujan yang membasahi pekarangan rumahnya.
            Tepat saat itulah ia melihat Ghea masuk ke halaman rumahnya. Untuk alasan yang sepenuhnya belum bisa ia pahami, senyum Ghea membuat hatinya yakin bahwa sesuatu yang hilang itu ada hubungannya dengan wanita berambut panjang itu.
***
            Ghea menghembuskan nafas perlahan. Ia perlu menetralisirkan rasa sedih di dadanya sebelum ia bertemu Sam. Hari ini adalah hari penting baginya dan juga Sam. Ia sudah puluhan kali mengingatkan Sam tentang hari ini dan semoga Sam tidak melupakannya.

            Ia mengambil Rapunzel Cake yang ia beli di De patisserie untuk merayakan hari bersejarah ini. Tak lupa ia sudah memasukkan sepasang cincin ke dalam kue itu.

            “ Kamu darimana?”

            “Aku dari toko kue.” Ujar Ghea datar. “Kamu ingat hari ini hari apa?” ia melanjutkan.

            “Hari selasa,”

            “Kamu lihat kalender di meja kerjamu?”

            “Udah. Tapi aku gak ngerti kenapa hari ini ditandai spidol merah. Apa ada sesuatu yang mesti kita rayakan?” tanyanya bingung. Jelas, kerutan di dahinya menyiratkan pertanyaan besar di hatinya.

            “Sayang, hari ini anniversary kita yang ketujuh,” Ghea membelai lembut kepala Sam. Ia lalu mendekap erat Sam. Ada rasa sesak yang bergemuruh didadanya saat ia tahu Sam sama sekali tak mengingat hari pernikahan mereka. Rasa sesak itu lalu berganti bentuk menjadi butiran air mata yang mulai menetes di bahu Sam.

            “Kamu marah ya? Maaf aku sama sekali nggak ingat. Kamu harus bantu aku mengingatnya,” ujar Sam seraya menghapus air mata yang jatuh di pipi Ghea.

            Ghea mengangguk perlahan dan menyunggingkan seulas senyum. Ia tidak boleh bersedih atas keadaan Sam. Ia dulu pernah berjanji untuk selalu ada untuknya dan selamanya harus selalu disampingnya, membantunya mengisi kekosongan memori yang semakin hari semakin menggerus sisa kenangan itu. 

            Sam lalu sibuk memotong kue itu menjadi beberapa bagian dan mulai mengunyah habis potongan kue itu. Ghea hanya memandangi potongan kue miliknya tanpa berniat memasukkannya dalam mulut. Ia menunggu Sam menemukan surprise yang ia selipkan di kue itu.

            Di potongan kue terakhir, ada sesuatu yang tak biasa. Ia berusaha melumatnya habis namun tak kunjung berhasil. Ia lalu memuntahkannya dan menemukan sepasang cincin keluar dari mulutnya.

            “Punyamu?”

            “Punya kita,” Ujar Ghea. Sam lalu memasangkan cincin itu ke jari manis Ghea dan begitu pula sebaliknya.

            I do love you ,” Sam lalu mengecup puncak kepala Ghea. Ada rasa hangat yang menjalar dari puncak kepalanya ke seluruh tubuh. Ia disesaki rasa bahagia yang amat sangat.

            Sam sebenarnya tidak mengingat sama sekali hal itu. Tapi raut wajah Ghea yang menatapnya kecewa membuatnya tak tega membuat hati wanita itu terluka. Ada sesuatu yang lagi-lagi tak bisa ia pahami membuatnya melontarkan kalimat itu.

            “Kamu tahu apa yang kusuka? Tanya Ghea memecah keheningan.
            “ Apa? Coba beritahu aku, siapa tahu aku akan mengingatnya,”
            “Aku suka sekali kembang api, hujan, langit biru, dedaunan maple yang berguguran, bunga, dan permen kapas,”
            Diam-diam, Sam mencatat semua hal itu didalam hati dan berharap ia bisa terus mengingatnya.
            “Kau mau jalan-jalan bersamaku?” tawar Sam.

***

31 Januari 2013. Tepat 8 tahun sejak kematian Sam. Ia masih tidak bisa menerima apa yang terjadi pada Sam. Pria tampan itu harus menghembuskan nafas terakhir tepat di saat ia dan Sam berjanji untuk bertemu. Sam mengalami kecelakaan saat akan menjemput Lita. Ia seperti orang gila saat itu. Ia tidak habis pikir dengan skenario Tuhan yang disodorkan padanya.
            Hari ini, ia sengaja menyediakan waktu untuk bisa mengenang masa-masa itu. Saat Sam masih ada, ia sering mengajak Lita menghabiskan sepanjang malam menyusuri pinggiran sungai Musi. Tentu 8 tahun lalu tidak sebagus ini, lampu-lampu hias yang minim, jalan-jalan yang masih belum tertata rapi dan terkesan amburadul. Riverside Restaurant pun belum berdiri megah disana. Hanya ada warung-warung kecil di sekitarnya.
            Ia membawa beberapa bucket bunga untuk ditawarkan pada pasangan muda-mudi yang sedang menikmati malam pergantian tahun. Seandainya Sam masih ada, pasti ia akan sangat menyukai udara dingin yang sedari tadi merayapi tubuhnya. Sam tentu akan langsung merapatkan jaketnya dengan sempurna ketubuh Lita.
            Tuhan, aku sungguh merindunya.

***

            Sam ternyata mengajaknya ke Benteng Kuto Besak. Tempat itu kini dijejali beragam jenis pedagang makanan dan kerumunan orang yang tengah menunggu pesta kembang api. Padahal kalau hari biasa, hanya segelintir pedagang yang memenuhi tempat ini.

            “Kau tunggu sebentar disini, ada sesuatu yang mesti aku beli,” pinta Sam yang dijawabnya dengan satu anggukan. Sam lalu pergi mencari penjual permen kapas dan bunga.           

“Mbak, bunga mawarnya berapa?” tanya Sam pada si penjual bunga.

            “25 ribu, Mas” jawab si penjual bunga sambil mengangkat wajahnya. Di saat itulah pandangan mereka bertemu dan entah mengapa ada sesuatu yang mendorong Sam berkata “ Kamu Lita, kan?”

            Si penjual bunga terpaku. Ia nyaris tak percaya dengan sosok pria yang dilihatnya. Bukankah ia telah meninggal? Lalu jika ia telah meninggal, mengapa pria ini bisa mengenalinya?

            “Maaf, Mbak. Saya ngawur,” ujar Sam sambil mengeluarkan selembar seratus ribuan.

            Canggung, si penjual bunga mengambil uang tersebut dan mencari kembalian namun tidak menemukan pecahan yang pas.

            “Ambil aja kembaliannya, Mbak,” Sam tersenyum lalu meninggalkan si penjual bunga itu dengan seribu tanya melingkupinya.

            Sam berjalan dengan gontai. Anehnya, pandangan terkejut wanita tadi kearahnya membuatnya yakin bahwa wanita itu mengenalnya. Namun, bagaimana bisa wanita itu mengenalnya? Toh, mereka baru pertama kali bertemu. Apa ada bagian dari ingatannya yang terdegradasi tentang wanita itu? Ia menarik nafas dalam-dalam. Yah, semoga itu tidak penting.
            Ghea sedang memandangi sungai Musi ―yang membelah kota Palembang menjadi daerah ulu dan ilir― saat Sam kembali. Ia senang sekali Sam mau mengajaknya jalan-jalan dengan inisiatif sendiri. Biasanya ia yang “memaksa” Sam pergi.
            “Kamu beli apa?”
            “Lihat saja sendiri,” ujar Sam dengan senyum penuh arti.
            Ghea lalu membuka bungkusan yang diberikan Sam padanya. Isinya sebungkus besar permen kapas dan bunga mawar merah. Ia sungguh terharu dengan “hadiah” itu. Baginya ini jauh lebih berarti dibanding apapun. Apapun lebih berarti bila diberikan oleh Sam.
            “Maaf aku nggak bisa ngasih kamu langit biru , dedaunan maple yang berguguran dan kembang api. Tapi untuk yang terakhir, kamu bisa saksikan walau bukan aku yang membuatnya. 1,2,3.....”
            Treett ..... Treett...Tusss
            Pendaran cahaya warna-warni menghiasi langit malam hari itu. Untung hujan tadi sudah mereda sehingga kembang api yang dipersiapkan tidak basah. Senyum Ghea terus mengembang, sama seperti kembang api yang tak berhenti berkilau, mengisi langit malam yang menghitam. Sam tersenyum melihat wanita itu bahagia. Tapi, rasa bahagia itu hanya memenuhi sebagian kecil hatinya. Sisanya masih diliputi rasa kosong. Ia tidak tahu siapa yang perlu mengisi ruang hati itu. Lita?
***
            Lita menatap laptopnya dengan muram. Peristiwa malam tahun baru di Benteng Kuto Besak itu terus terngiang di otaknya seperti kaset kusut yang terus menerus memutar adegan yang sama. Ia masih sangat mengenali wajah Sam, pria yang dicintainya.
            Wajah itu masih sama, meski sekarang agak lebih tirus dan adanya kumis tipis yang bertengger di atas mulutnya sedikit mengaburkan sosok Sam yang dulu dikenalnya. Tapi jelas itu pasti Sam. Tahi lalat di telinga kiri pria itu tak bisa membohonginya. Ia tahu persis tahi lalat itu hanya milik Sam Sandjaya seorang.
            Lalu, kenapa Sam terlihat canggung? Tak memberitahu kabarnya selama ini? Apa dia sudah menikah dan itu artinya ia sudah benar-benar melupakannya? Berbagai prediksi muncul di kepala Lita dan itu membuat kepalanya bertambah nyeri.
            “Mbak, bunga pesanan saya ada, kan?” pertanyaan seorang pelanggannya membuatnya tersadar dari lamunan itu.
            “Ada, sebentar ya, Mas,”
            Ia lalu bergerak ke sudut kanan toko bunganya. Disana berjejer bunga-bunga yang terbungkus rapi, menunggu si pemesan datang. “Atas nama siapa ya, Mas?”
            “Pak Sam Sandjaya untuk Ibu Ghea Anastasya,”
            Kepalanya mendongak, memastikan bahwa apa yang didengarnya tidak salah.
            “Pak Sam Sandjaya?” tanyanya kembali dengan suara bergetar. Mungkinkah?
            “Iya, Mbak,”
            Dadanya bergemuruh, otot-otot tubuhnya melemas. Apa yang dilihatnya semalam memang pria itu. Lalu kenapa ia seolah tak mengenalnya? Lalu kenapa ada nama Ghea bersamanya?
            “Ibu Ghea , teman pak Sam?”
            “Setahu saya, mereka memang berteman akrab, lalu memutuskan menikah tujuh tahun yang lalu,”
            Mulutnya terkunci, lidahnya kelu, dan otaknya tak bisa memikirkan apa-apa lagi. Waktu seolah berhenti saat ia tahu, persahabatannya telah ternodai. Kenyataan ini membuat hatinya patah. Ia benar-benar terluka.
***
            Sam menghabiskan harinya di depan laptop ditemani secangkir kopi hitam favoritnya. Hari ini ia sudah hampir memasuki bab V novelnya. Tiba-tiba saja, ia memikirkan senyum sang gadis penjual bunga. Senyum terpaksa, terkejut atau sedih? Ia sungguh tak bisa memastikan arti senyum itu. Ia lalu menutup matanya perlahan, membiarkan sel-sel otaknya mencari informasi tentang wanita itu. Nihil, kenangan yang ia miliki hanya terbatas pada Ghea dan itupun hanya bisa dihitung dengan jari.
            Ia lalu kembali melanjutkan menulis.
Rasanya lucu. Aku hanya mencintamu dalam diamku. Tak pernah ada ungkapan cinta berlebihan. Hanya diam dan merasakan. Janji-janji manispun tak pernah menyentuh sedikitpun gendang telinga. Aku hanya bisa merindumu dalam senyumku. Setiap senyumku adalah pesan rindu tentangnmu. Aku menyayangmu dalam anganku. Tak pernah sekalipun bersentuhan. Cukup tatapan mata bisa membuat aku menggila. Begitulah caraku mencintamu. Tak penah sekalipun tergerak untuk mengubah semuanya karena itu yang hanya bisa kulakukan. Karena keberanian tak pernah mau menyentuh diriku. Ya.. engkau hanyalah cinta, cinta terpendamku. Dan mungkin akan selalu jadi rindu, rindu tak bertuanku. dan bisa jadi aku akan selalu jadi pengagum rahasiamu.
            Dan seseorang yang hanya ada dipikirannya saat ini adalah Lita, sang tokoh dalam potongan novelnya. Entah apa yang merasuki otaknya saat itu, tapi sosok Lita sangat melekat dipikirannya. Ia tidak tahu mengapa.
            “Kamu udah selesai, sayang?”
            “Hmm, belum. Masih mau ngerapiin beberapa halaman lagi,”
            “Yaudah, aku tunggu di meja makan, ya,” Ghea berbalik, namun Sam langsung menggamit lengannya cepat. Ghea menyodorkan tatapan seribu tanya.
            “Kamu bisa beritahu aku siapa gadis yang bernama Lita?”
            Pertanyaan itu membuat udara disekitar Ghea menipis. Ia tersenyum kaku.
            “Kamu bertemu dengannya?” tanyanya hati-hati.
            Sam menggeleng ragu. “Justru itu aku tanyakan dia padamu. Aku bertemu dengan seorang gadis yang kukenali sebagai Lita. Aku sendiri bingung kenapa aku bisa memanggilnya Lita padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya. Bisa kau jelaskan siapa dia?”
            Ghea berada dalam kebimbangan. Di satu sisi, ia sudah tidak sanggup lagi membohongi Sam. Namun di sisi lain, perasaannya pada Sam membuatnya terus menerus berusaha memupuk kebohongan agar Sam bisa terus bersamanya.
            “Ghea?”
            “Sebenarnya dia teman lamaku. Aku pernah memperkenalkannya padamu. Waktu itu, saat pertama kali melihatmu, ia memberitahuku bahwa aku harus hati-hati karena kapanpun ia bisa merebutmu dariku,”
            Kening Sam berkerut. Ia tidak sepenuhnya yakin dengan apa yang baru saja dilontarkan oleh Ghea. Namun keraguan itu tak ingin ia konfirmasi lebih lanjut. Ia hanya menyimpannya dalam hati dan berusaha mencari tahu sendiri.
            Di tengah ketegangan itu, bel rumah mereka berbunyi.
            “Assalamualaikum...” ujar seseorang dari luar.
            Ghea memperpanjang langkahnya menuju pintu depan. Ia lalu membuka pintu dan mendapati pegawai Sam datang dengan membawa bunga mawar.
            “Ada apa ,ya”
            “Ini, Bu. Pesanan dari pak Sam buat Ibu,” ujar sang pegawai seraya memeberikat bucket bunga itu ke pemiliknya.
            “Terimakasih..” Desir-desir bahagia kembali memenuhi ruang hati Ghea.
            “Siapa?”
            Ghea lalu mengalihkan pandangannya pada Sam. Pria itu sungguh misterius. Memang, keadaan tubuhnya membuatnya tak bisa mengingat masa lalu dan mudah lupa akan hal-hal yang baru saja dilakukannya. Tapi ia sungguh bahagia dengan kenyataan itu walaupun kadang-kadang ada rasa sesak yang melingkupinya saat Sam tidak mengenalinya. Ia bahagia karena pria itu sama sekali tidak mengingat Lita, mantan kekasihnya.
            “Pegawaimu. By the way, thanks for this flowers. You know me so well” Ghea lalu mendaratkan ciuman singkat ke pipi Sam. Ini membuatnya yakin bahwa ia harus terus membohongi Sam agar kebahagiaan ini akan selalu ada dalam hidupnya.
            Saat istrinya itu telah larut dalam mimpinya, Sam menekan beberapa digit di ponselnya. Terdengar nada tunggu beberapa saat, dan kemudian seseorang diseberang sana bersuara.
            “Halo, siapa ini?”
            “Aku Sam. Bisa kita bertemu besok?”
            Yang ditanya hanya menjawab dengan gumaman. Semoga kebenaran akan terungkap besok. Ia mencatat pertemuannya besok di kalender kerjanya.
***
            Sam memilih duduk di sisi kiri kafe itu. Kafe ini belum ramai, hanya diisi oleh segelintir orang. Masih sepulut menit lagi sebelum waktu janjian. Ia lalu memesan secangkir kopi. Tepat saat ia menoleh ke arah pintu masuk, sosok Lita muncul. Gadis itu mengenakan jeans dengan kemeja berwarna khaki, dipadu dengan high heels 10 sentimeter dengan warna senada. Ia lalu melambaikan tangan.
            “Sudah lama?”
            “Baru saja,”
            Ada kebekuan diantara mereka. Kebekuan itu sedikit mencair saat pramusaji membawakan pesanan Sam. “Kamu mau pesan apa?”
            Strawberry smoothies satu , Mas,”
            “Ada yang perlu kita bicarakan?”
            Sam membuka mulut “ Banyak. Tapi bisa kau beritahu aku apakah sebelumnya kita pernah saling mengenal?”
            Lita mengangguk pelan. “ Kamu benar-benar tidak mengingatku?” Sam balas mengangguk.
            “Aku akan menceritakan semuanya padamu tapi kau harus janji untuk tidak menyela saat aku bicara,”
            Dan akhirnya cerita itu mengalir. Mulai dari pertemuan pertama mereka, kisah cinta mereka, rencana mereka menikah dan kecelakaan yang dialami oleh Sam. Sam hanya bisa mengingat saat dia terbaring di rumah sakit dengan perban dikepalanya. Dan akhirnya terjawab sudah, apa kekosongan yang selama ini ada dihatinya. Sosok Lita. Sosok Lita telah sedemikian rupa disabotase oleh Ghea sehingga ia benar-benar tidak mengenal lagi sosok Lita.
            “Aku diberitahu oleh Ghea bahwa kamu sudah meninggal,”
            “Tidak mungkin..”
            “Terserah kau mau percaya atau tidak, aku tidak peduli,”
            “Jadi, bagaimana?”
            “Bagaimana apanya?’ ujar Lita balik bertanya.
            “Tentang kita. Apakah ada harapan untuk kita bersama?”
            Lita menggeleng. “Kau sudah punya dunia sendiri,”
            “Duniaku adalah duniamu juga,”
            “Maksudku kamu telah memiliki Ghea. Bahagiakanlah dia..”
            “Lalu, kamu?”
            “Aku? Kau tak perlu repot-repot memikirkanku. Kau sungguh tak perlu memilihku. Cukup tahu keberadaanku dan berbahagialah dengan atau tanpaku,”

            “Kamu tidak menyesal dengan keputusanmu?”
            Lita menggeleng lagi. “ Aku sudah cukup bahagia karena kamu telah mengingatku sebagai bagian dari masa lalumu,”
            “Masa lalu terindah. Yang teringat olehku adalah saat ada senyum yang merekah saat ribuan kembang api berlomba-lomba menari di langit,  apakah itu senyum milikmu?”
            “Iya. Karena dulu kamu selalu tahu apa yang kusuka,”
            “Kamu suka sekali kembang api, hujan, langit biru, dedaunan maple yang berguguran, bunga, dan permen kapas, betul tidak?”
            Lita terkejut, ia benar-benar tidak menyangka Sam masih mengingat hal kecil itu.
            “Kau benar-benar mengingatnya?” Sam tersenyum penuh arti.
            “Terima kasih karena kau masih mengingatku.”
***
            “Aku mencintaimu,Sam. Sungguh aku tidak bermaksud membohongimu,”
            “Kau sungguh tega, Ghea. Membohongiku, mengarang cerita palsu tentang kematianku, dan berpura-pura menjadi Lita. Maumu apa? Membodohiku? Menjadikanku boneka yang bisa kau mainkan sesuka hati?”
            “Sungguh, aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya terlalu mencintaimu.”
            “Persetan dengan cinta. Kau hanya memenuhi ego busukmu saja! Kau tidak benar-benar mencintaiku,”
            “Aku tahu apa yang kulakukan ini salah. Tapi apa juga salahku jika aku memujamu? Apa aku harus memilih orang yang tepat untuk kujatuhi cinta? Tidak , Sam. Cinta tak pernah memilih kepada siapa ia harus ada. Aku juga tidak mau merusak persahabatanku. Tapi cinta ini begitu menyakitkan, Sam. Aku harus melukai sahabatku agar cinta ini tidak hancur,”
            “Aku sudah bertemu dengan Lita. Ia menceritakan semuanya padaku. Semua kebohonganmu,”
            “Kamu percaya padanya?”
            “Tentu saja, aku lebih mempercayai kata hatiku ketimbang mulut busukmu!”
            “Kumohon, Sam. Maafkan aku...”
            “Jika bukan karena Lita yang merengek-rengek padaku agar aku tetap bersamamu, aku pasti akan lebih memilihnya. Ia sudah cukup menderita karenamu,”
            “Maksudmu?”
            “Aku memaksanya untuk tetap bersamaku. Namun ia menolak dan mengatakan agar aku lebih baik bersamamu. Kamu harus bersyukur memiliki sahabat sebaik dia,”
            Ghea mengangguk setuju. Terima kasih, Lita.
           
 By: @mirandakazuto (Riski Miranda Putri)

Kamis, 26 Desember 2013

Captivating Me

Ya Tuhan.
Aku tidak tahu lagi bagaimana diriku.
Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ada pada jalan pikiranku.
Aku menyukainya tak terperi.
Semua terasa serba otomatis.
Segalanya seperti seharusnya terjadi.
Seakan ini hal yang memang mesti ada.
Aku sungguh tidak mengerti, Tuhan.
Aku mungkin sudah terlalu tenggelam dalam rasa itu.
Atau mungkin dia yang sudah sedemikian rupa menawan hatiku hingga aku terjerat didalamnya.
Hingga logika dan angan seakan menyatu.
Tuhan.
Pintaku padamu hanya satu.
Buat aku tahu mana yang harus aku lakukan.
Dan satu tanyaku pada-Mu, Tuhan.
Haruskah ada kata "berhenti" dalam proses memujanya?

Senin, 23 Desember 2013

Masa Lalu



Prolog:
Gerrald memandang ke sekeliling. Sepi. Tidak ada siapa-siapa disana. Yang perlu dia lakukan hanyalah mengucapkan mantera itu tiga kali dan timezone ke peradaban Romawi Kuno untuk merampungkan observasi tesisnya akan terbuka lebar. Bla bla bla. Cahaya warna-warni kemudian berpendar mengitari dinding gua berselimut lumut yang mengeras itu. Ia menyentuhnya pelan, namun seolah memasuki lubang hitam, tubuhnya tertarik kedalam tanpa bisa melawan gravitasinya. Yang terakhir dilihatnya hanyalah lorong waktu kecil yang membawanya ke dimensi baru. Ia berhasil.
BAB I (Gerrald’s Novel)
            Mari kita bercerita tentang kisah dan seteguk kopi yang kunikmati lamat-lamat di depan jendela besar itu. Hari itu sedang turun hujan dan kita sengaja singgah di salah satu kedai kopi untuk berteduh. Kamu memesan frapucino sedangkan aku pasti akan memilih secangkir kopi hitam dengan sesendok gula. Tidak sampai sepuluh menit, pesanan kita akhirnya tiba. Kopi itu akhirnya menemaniku mengenang tentang segala hal yang mengitari hidup kita dengan indah. Tentang asa dan impian. Tentang butir-butir hujan yang memenuhi lekukan dedaunan.Tentang senja yang memerah di ufuk barat. Tentang kisah Cleopatra dan Julius Caesar. Kisah yang tak habis termakan jaman. Kini kukembalikan kenanganmu tentang bagaimana mereka bertemu, bertukar seulas senyum, berpadu, lalu dijatuhi cinta. Mereka yang ada di dua kubu berbeda, namun memiliki rasa yang sama. Ketika segala hal dilingkupi oleh rasa berjuta warna itu, pasti kamu akan merasa jutaan kupu-kupu memenuhi perutmu. Begitu juga yang terjadi pada mereka. Tapi mereka berbeda, jelas berbeda, namun segala hal akan terasa sama, cinta. Pernahkah kau dengar bagaimana sulitnya pergulatan hati sang kaisar Romawi itu antara tahta dan cinta? Iya, cinta memenangkan segalanya. Selalu.
            Dunia memang memandang kisah itu sebagai picisan biasa. Omong kosong. Salah satu taktik Cleopatra agar Romawi tak berusaha menjatuhkan kedudukannya sebagai ratu Mesir. Namun  bagiku cinta tetaplah cinta, sekalipun diawali dengan kebohongan dan tipu muslihat. Ia akan mengalir apa adanya, menjatuhkan pilihan pada seseorang yang ada diluar dugaan kita. Ya, kadang-kadang dahi kita akan berkerut saat semakin jauh kita membaca setiap sejarah yang terukir dalam papyrus itu. Namun, yang perlu kau tahu adalah bahwa cinta itu tak bisa dikelabui, cinta itu memang tidak punya mata, namun ia memiliki hati. Ia kadang dimiliki orang yang salah, namun tidak dengan cara yang salah. Yang perlu kita luruskan adalah bagaimana agar cinta itu membuat orang yang salah bersikap dengan cara yang benar, karena cinta akan selalu menyempurnakan setiap jengkal kehidupan.
            Aku yang haus karena telah bercerita panjang lebar padamu, lalu kembali meneguk sisa kopi itu. Kopi itu awalnya manis, kental dan hangat. Namun, semakin kuteguk habis isinya, rasa pahit dan dingin mulai menyerang ujung lidahku, memenuhi kerongkonganku. Kopi hitam itu akhirnya tinggal seteguk lagi, namun kisah ini masih sangat panjang, jelas aku harus menyediakan puluhan cangkir kopi hitam agar aku bisa menuangkan semuanya dari awal sampai akhir. Aku akan melanjutkan kisah mereka berdua lain hari, saat kau dan aku punya waktu, rinai hujan dan puluhan cangkir kopi agar kisah ini tak putus lagi. Di saat itu kita akan menikmati setiap kata yang keluar dari bibirku dan semuanya akan terasa menyenangkan.
            Kau mau secangkir kopi yang sama atau malah menuangkan frapucino pesananmu ke cangkir kesayanganku?
            Gerrald memandang puas halaman akhir bab I di novel kelimanya. Novel yang rencananya ia akan selesaikan dalam kurun waktu empat bulan. Saatnya ia merenggangkan otot-otot bokong dan punggung yang terlalu lelah menopang tubuhnya. Sudah seharian jemarinya menari diatas keyboard laptopnya.
            Gerrald. Pria berusia 25 tahun yang cukup good looking . Tatapannya tajam tapi membuat siapa saja yang memandangnya terpana, dengan kedua mata yang memancarkan kehangatan untuk sekitarnya. Garis-garis rahang tegas yang ia miliki membuatnya terkesan berwibawa , namun kedua lesung pipi yang bertengger di wajahnya menampilkan sosoknya yang ramah. Kacamata yang membingkai wajah tirusnya melengkapi wajah innocent-nya, membuatnya terkesan smart. Koreksi, bukan terkesan smart, tapi ia memang cerdas. Peraih cumlaude di pendidikan jenjang S1 ini kini tengah sibuk merampungkan tesisnya.
            Perawakannya cukup tinggi dari rata-rata orang kebanyakan, 181 cm. Tubuhnya cukup berisi, namun jelas menyiratkan kerasnya kehidupan yang ia lalui selama hidup. Ia memang bukan dari keluarga berada. Keluarganya yang pensiunan PNS biasa hanya mampu menyekolahkannya hingga jenjang SMA. Ia lalu nekat, berusaha meraih gelar S1 dengan bekerja siang-malam di beberapa bidang pekerjaan. Menjadi pelayan? Ia sudah biasa. Menjadi pengantar koran? Setiap pagi ia geluti. Menjadi petugas pom bensin? Lumayan mengisi kocek pribadinya. Namun semua hal yang dilakoni kadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
            Akhirnya Tuhan mengulurkan tangan-Nya. Ia diterima sebagai novelis tetap di salah satu penerbit mayor ternama di Indonesia. Selain itu juga, berkat kerja kerasnya, ia telah memiliki usaha restoran pribadi di beberapa spot di Jakarta. Perlahan, pundi-pundinya terisi dan mencukupi biaya kuliahnya, dan sampai akhirnya ia sekarang hampir menyelesaikan pendidikan S2-nya.
            Di tengah perjuangan hidup yang keras itu, ia beruntung memiliki seorang Ghea, gadis berparas ayu yang menemaninya melewati hari-hari. Ia bertemu dengan Ghea saat mereka sama-sama duduk di semester 1. Ghea yang pertama kali mengutarakan perasaan yang dijawab Gerrald dengan seulas senyum. Awalnya Gerrald ragu, karena kabar yang diterimanya mengatakan bahwa Ghea adalah gadis yang suka mempermainkan hati laki-laki. Namun semakin lama ia mengenal Ghea, ia malah menaruh curiga pada orang-orang yang menyebarkan gosip hoax itu. Tidak mungkin gadis bertutur lemah lembut seperti Ghea bertingkah seperti itu.
            Sudah 7 tahun mereka lewati dan kini mereka sama-sama sedang sibuk kesana-kemari untuk menyelesaikan tesisnya. Ia mengambil judul “Peradaban Romawi Kuno, Antara Cinta dan Tahta”.
            Honey, kamu mau aku taburin keju atau kuoleskan selai kacang?” ucapan Ghea menyentaknya ke dunia nyata. Sudah berapa lama ia melamun?

-to be continued-