Kita
akhirnya berpisah. Kapanpun pasti kita akan terpisah. Ikatan kalung salib dan
tasbih yang dulu terpilin erat, kini sudah putus, tak dapat disambung lagi.
Bagaimana bisa aku menyatukan sisa kalung salibku, sedangkan sebagian darinya adalah
milik tasbihmu? Kita sudah lama menyatu, dan tiba-tiba terpisah hingga
membuat udara di sekitarku menipis; sesak. Aku tahu cinta ini pasti akan berakhir tak bahagia― seperti
yang sering menghantuiku dalam mimpi.
Rasanya
begitu sakit saat aku mesti jauh —sekedar dari bayangmu. Kita dulu seperti
magnet selatan dan utara—meski berbeda tapi—saling tarik menarik satu sama lain,
hingga akhirnya kau perlahan berubah jadi utara; lalu kita mesti saling
menjauhi. Bagaimana dengan janji yang telah kita ikrarkan dulu? Hidup bahagia
berdua,selamanya? Apa aku harus menguburnya dalam-dalam dari hidupku?
Tolong
beri aku kekuatan untuk melupakanmu. Kenangan yang kau ukirkan terlalu indah
untuk sekedar ku lupakan; bahkan untuk ku hapus dari memori kehidupanku. Kau
begitu indah; meski kadang kau tak menyadari itu. Aku baru sadar begitu aku
memujamu saat kau telah pergi. Apa aku bisa hidup tanpamu; sementara kau adalah
oksigen yang setiap detik mesti ku hirup? Aku tak menyalahkanmu, kasih... aku
hanya sedih melihat takdir yang melingkupi kita. Selalu, kita tak pernah
diijinkan menghirup udara cinta yang menyeruak; kita hanya punya hak untuk
mencicip sedikit butir cinta itu lalu sekejap direbut kembali oleh takdir
secara tak manusiawi.
Kasih,
kau tak berubah; sama sekali tak berubah. Kisah dan perjalanan cinta kita saja
yang melenceng dari yang kita rencanakan. Kau dihadapkan dua pilihan ;
memilihku dan meninggalkan keluargamu atau memilih calon istrimu dan
meninggalkanku. Aku tak menyuruhmu memilihku, meski dalam hati aku berharap kau
mengikuti kata hatimu. Aku tahu dua pilihan itu seperti makan simalakama
bagimu; dan aku tahu apapun yang kau putuskan itu adalah yang terbaik untuk
kita.
Kasih,
cinta ini masih sama. Sama saat kita pertama bertemu, menjalin kisah lalu
merajut cinta dengan jemari-jemari kasih. Aku masih selalu merindumu seperti
biasa, meski rindu itu terasa hambar tanpa senyummu yang dulu menghiasi wajah
tampanmu itu. Kita tak benar-benar berpisah, karena kita masih saling bertemu ―walau
tatapan kita tak pernah lagi berpadu. Semakin aku memandangmu, luka yang
tertoreh ini semakin meradang. Aku masih mencintamu, kasih. Entah rasa itu
telah berkurang atau justru masih terdeposit melimpah dalam ruang kecil di hati
ini,yang jelas rasa itu masih ada dan akan selalu ada.
Kasih,
jangan bersedih. Aku akan baik-baik saja. Sama seperti yang sering kau bilang
bahwa jika kita berjodoh, apapun ceritanya, bagaimanapun alurnya dan
seperti apa akhirnya, kita akan bertemu entah bagaimana caranya; dan aku
percaya itu. Kusimpan kisah cinta kita dalam relung hati terdalam dan akan
datang saat dimana cinta itu kau ambil kembali dan kau satukan dalam hatimu.
Sama
seperti saat kau menyapa hatiku pertama kalinya, kali ini aku menyapa hatimu
untuk terakhir kali, membiarkan cinta itu pergi perlahan dalam lubuk hati, dan
mengucapkan salam perpisahan hangat untuk yang pernah tinggal di dalamnya
selama ini.Cintamu.
Kasih,
apapun yang terjadi kau akan selalu bisa pulang ke dalam hatiku.
ketika kisah itu harus berujung (tak) indah...
ketika kisah itu harus berujung (tak) indah...