Wanita itu
memandangi pria yang duduk disampingnya. Ia melihat ada gurat-gurat lelah jelas
di wajah tampan pria itu. “Kau baik-baik saja kan?” selidik wanita itu penuh
ragu.
“Tenanglah.. aku
baik-baik saja. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir..” ujar pria itu tanpa
memandang balik ke arah wanita itu.
“Berpikir
tentang apa? Tentang hubungan kita? Apa kau mulai meragu?” suara wanita itu perlahan merendah, diganti
isak tangis yang mulai tertangkap oleh telinga pria itu.
Mereka lalu
terdiam. Tak ada salah satu diantara mereka yang berinisiatif memulai
pembicaraan. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. Pria itu bingung
bagaimana ia harus bersikap. Ia memang mencintai wanita itu—
tak ada keraguan diantaranya. Namun ia tak bisa memungkiri firman Tuhannya. Ia
dan wanita itu beda. Hubungan mereka mau tidak mau harus terhenti dan jalan
satu-satunya untuk bersatu adalah menyatukan mereka dalam persamaan. Pilihannya
adalah ia atau wanita itu yang “mengalah”.
“Boleh aku tanya
satu hal padamu?”
“Tentu.”
“Kau
mencintaiku?”
Wanita itu lalu
tertawa, tawa hambar. “ Tentu saja aku mencintaimu. Jika aku memperjuangkan
suatu hal, artinya aku mencintainya. Apa kau merasa aku tak memperjuangkanmu?”
Pria itu
terdiam. Ia akui sangat sulit membuatnya lupa akan sosok wanita itu. Wanita itu
cantik, hasil karya jemari Tuhan yang Maha Indah. Ia tak pernah menuntut apapun
dari pria itu, kecuali cinta dan kasih sayang―tak lebih. Wanita itu pun tahu
bagaimana ia harus bersikap. Wanita itu sangat sempurna secara duniawi . Haruskah ia mencintai dunia hingga membuatnya
melupakan akhirat? Ia selalu memegang prinsip agama dalam hidupnya. Pria baik untuk wanita baik.Wanita baik
untuk pria baik pula. Posisinya sekarang adalah, mana diantara mereka yang
tidak baik hingga hubungan ini mesti dihentikan? Wanita itu baik.Sangat baik
malah. Ya, satu-satunya yang tidak baik adalah perbedaan agama diantara mereka.
Mereka harus memilih— atau mereka yang akan dipilihkan oleh orang lain pilihan.