Harusnya cinta membahagiakan.
Mengangkat diri ini tinggi-tinggi, mengembangkan senyum ini berkali-kali. Mestinya terdengar melodi yang mengalun
harmoni seiring detak waktu yang mengikuti lagu cinta ini. Sepatutnya rasa itu
memeluk hangat relung-relung hati yang
perlahan berpilin menyatu.Harusnya.Semestinya.Sepatutnya.Apakah kata-kata itu
mustahil diantara mereka? Sehingga mereka tak pernah sedikitpun merasa bahagia
saat cinta itu perlahan tercipta? Cinta. Itu memang cinta yang dirasa semua
orang. Cara yang ditempuh mereka saja yang sulit, berliku-liku dan tak tentu
kemana akan bersimpangan; hingga mereka hanya tahu cinta dengan perbedaan itu
hanya menyakiti setiap jengkal hati mereka.
Mereka bahagia.
Mereka tahu cinta yang mereka miliki itu benar adanya; tanpa rekayasa ataupun
sandiwara; karena tak ada yang mesti diatur wataknya, tak ada alur yang
diarahkan sutradara; bahkan tak tahu kapan kisah ini akan berakhir―
karena ini bukanlah drama percintaan yang disutradarai manusia—
ini nyata digariskan Tuhan. Tuhan? Tuhan yang mana? Yang membuat wanita itu
berlutut sambil melipat tangan; menggenggam erat salib Yesus di jemari
mungilnya? Ataukah Tuhan yang meyakinkan pria itu memuji-Nya selalu dalam
setiap derai air matanya saat butir tasbih itu digenggamnya satu persatu? Tak
ada yang tahu pasti.
Mereka hanya bertemu,
pandangan mereka beradu, saling melemparkan senyum dan merasa nyaman. Tak ada
sentuhan intens diantaranya.Cinta pun datang tanpa pernah mereka rengekkan pada
Tuhan. Hanya jemari hangat cinta yang menyentuh hati perlahan, hingga mereka
merasa saling merindukan. Apakah mereka salah? Tak ada zinah yang dicibir orang
diantara mereka, tak ada pelukan mesra bahkan ciuman murahan yang diobral
pasangan seusia mereka. Mereka hanya merapal nama orang yang mereka kasihi
dalam doa, meski dalam bahasa yang berbeda. Wanita itu membaca Alkitab dan pria
itu menyenandungkan Al-Qur’an. Mereka sama-sama fanatik dan tahu bahwa cinta
itu suci dan tak perlu dinodai oleh hal-hal yang tak bermoral itu. Kisah mereka
sungguh menyentuh relung hati terdalam, dan bagi saya ini adalah cinta yang
sebenar-benarnya cinta.
Kembali ke
wanita itu. Dia tak pernah mengutuk rasa itu datang kepadanya. Malah dia
bersyukur menemukan pria yang mencintainya dengan cara yang tidak biasa. Sopan.
Santun. Tahu adab dan moral. Dia hanya menyesalkan satu hal. Agama. Tembok
penghalang penyatuan diri mereka. Apa mereka salah jatuh cinta? Padahal yang
menganugerahkan adalah sang Maha Cinta? Apakah mereka tahu mereka akan jatuh
cinta? Mereka juga tak ingin mencinta dalam perbedaan. Tapi cinta itu datang
begitu saja. Tak peduli apakah hati akhirnya terluka karena merasakannya. Jika
ia tahu ia akan terluka karena cinta ini, tentu dia akan merengek pada Tuhan
untuk membatalkan rasa ini hadir di tengah-tengah hidupnya.
Pria itu. Ia
begitu terpukul dengan rasa ini. Ia memang bahagia bersama wanitanya. Namun ia
juga tahu bahwa agama yang dielu-elukannya tak berpihak padanya. Ia yakin
Tuhannya benar sehingga ia ragu apakan cinta yang menguasai hatinya tidak salah.
Wanita itu lalu perlahan mengubah pandangannya. Membuatnya bahagia bersama hati yang
diberikan wanita itu. Ia tak peduli apa kata Tuhan tentang yang dilakukan. Baginya bahagia adalah memilikinya.
Mereka semakin
sering bertemu, menaut kasih yang semakin lama semakin sulit untuk dilepaskan.
Cinta itu sudah semakin dalam tercebur dalam kebahagiaan hati mereka. Mereka
memang belum pindah ke keyakinan pasangan masing-masing; meski cinta mereka
mungkin sudah menyatu erat.
Namun cinta
mereka kini diuji. Oleh segenap peristiwa yang menoreh luka di hati. Mereka
dicibir, dihakimi, direndahkan ; dianggap telah berzinah. Begitu derasnya air
mata yang bergulir di pipi wanita itu. Sang pria hanya bisa mengusap dada,
menarik napas dalam, dan mencoba menenangkan wanita itu. Ia pun memutuskan
untuk sholat; untuk menenangkan hati, sementara wanita itu menunggunya di luar
masjid―sambil
membaca Alkitab sakunya. Pandangan aneh dan merendahkan mulai tertuju pada wanita itu
bertubi-tubi, seakan-akan ia adalah penjahat yang mesti segera dihukum mati. Mereka terkejut mendapati wanita berkalung salib itu "sholat" di tempat yang salah. Lebih mencengangkan lagi ketika pria itu datang dan mereka pergi bersama. Namun pria dan wanita itu tak peduli dengan pandangan yang terus menghujangi langkah mereka.
Wanita itu
menguatkan diri, mencoba memunguti sisa-sisa ketegaran yang dia miliki. Dia
yakin pria itu tak akan seperti orang-orang yang tak mengerti mereka dan
bagaimana mereka. Perjanjian baru dan perjanjian lama yang ia lantunkan semakin
meneguhkan hatinya, meski kedudukannya tidak di Gereja. Sementara itu, pria itu telah
selesai menunaikan sholat, ia melanjutkan wiridnya dan pastinya, ia akan selalu merapal nama
wanita itu di antara butir-butir doanya. Mereka lalu menangis saat mengadu pada
Tuhan masing-masing; meski dengan cara berbeda; wanita itu melipat tangan dan
pira itu menengadahkan tangan. Apa mereka salah? Apa cinta mereka tak nyata? Dan sekali lagi, kepada Tuhan yang mana mereka harus meminta keadilan? Apakah cinta mereka memang ditakdirkan tak bersimpangan?