Kamis, 16 Agustus 2012

bukan satu-satunya bintang



Aku dan kamu.Selalu kuberusaha melupakan setiap keping kenangan tentangmu.Tapi selalu saja,setiap ku berusaha menghapus memori yang tersimpan,bulir air mata selalu mengiringi tanpa tersadar. Sesak memang,tapi aku tahu aku hanya mencintaimu dalam sakitku hingga tanpa sadar melukai diriku terlalu dalam. Apa itu bisa disebut bahwa “aku masih cinta kamu”? Karena saat ku tahu aku harus melupakannmu dada ini terasa sesak...
Aku dan kamu. Sebuah kalimat berupa doa yang selalu kurengekkan pada Tuhan. Mungkin Tuhan sudah bosan mendengar permintaanku yang satu ini.Yang selalu kupanjatkan tiada henti meski ku kadang tersadar bahwa itu hanyalah mimpi.Hingga suatu saat aku terhenti mendoakanmu.Hingga ku sadar yang kulakukan selama ini hanyalah sia-sia.Aku paham mendung di hati takkan pernah surut selama aku masih berkubang dalam duka tentangmu. Meski tiada yang tahu apakah aku bisa bahagia tanpa melihat seulas senyummu.Meski tak ada yang bisa menjamin apakah aku bisa menapaki hidup tanpa dirimu.Meski tiada yang tahu apakah dengan melupakanmu hatiku akan berhenti tersakiti.
***
                “Kamu lagi ngapain,Na?” Renatha memasuki apartemen saat Nina sedang “bersih-bersih”.
                “Hmm,aku lagi bersih-bersih nih...mau buang semua barang pemberian Mas Radith biar aku cepet ngelupain dia...”ujarnya tanpa memandang kearah Renatha. Boneka,bunga-bunga,cokelat dan semua pemberian Radith memenuhi satu box yang memang khusus menyimpan semua pemberiannya. Nina memandang sedih  box itu. Semua kenangannya bersama Radith tersimpan didalam dan saat dia membuka isinya, rasa rindu itupun menyeruak tanpa ampun,berusaha menggoyahkan keyakinan yang dipupuk olehnya selama ini. Dia menggelengkan kepala,berusaha mengenyahkan rasa itu.
                “Bagus dong..akhirnya kamu bisa ngelupain bajingan itu! Aku seneng dengernya...” Renatha tersenyum dan tak lama kemudian tangannya memeluk bahu Nina erat. “ Aku seneng kamu udah kayak dulu lagi” bisiknya pelan.
                “Hmm..aku cuma mau ngikutin nasehatmu agar aku ngelupain Mas Radith..lagian aku sadar buat apa aku nungguin dia lagi kalo dia udah nggak ada disini lagi...” ucapnya lirih-terkesan kecewa dan sedih- sambil menitikkan air mata.Sialan! jangan ada lagi tangis untuknya! Buat apa menangisi laki-laki bajingan itu! Nina menghapus air mata yang jatuh dengan punggung tangannya.
                “Na,jangan nangis lagi dong,aku nggak bisa liat kamu sedih lagi. Jangan buang air mata kamu buat orang sejahat dia...kamu itu terlalu baik buat dia,lupain dia dan mulailah hidup yang baru...” Pelukan Renatha semakin erat, melingkar di tubuhnya.
Ya! Dia harus kuat! Lupakan bajingan itu agar dia bisa merengkuh kebahagiannya sendiri tentu tanpanya!! Aja aja fighting1 ,Nina!

***
                Minggu kedua bulan Juli ini terasa menyengat. Panasnya hari tak seperti biasanya.Nina menyadari dampak global warming memang sudah terasa. Panas Jakarta sudah tak bisa dikompromi lagi.Namun apa boleh buat, pekerjaanya sebagai seorang sekretaris direktur di sebuah perusahaan konstruksi menuntutnya untuk berteman dengan panasnya udara. Meninjau lokasi-lokasi proyek di tengah hari memang sudah biasa dilakoninya.Namun tak seperti hari ini saat matahari memancarkan cahaya overdosis. Peluh membanjiri keningnya dan tisu pun menjadi satu-satunya hal yang dicari olehnya saat ini.
                Sebenarnya Dimas tak tega membiarkan gadis itu menemaninya. Lihat saja! Belum apa-apa peluh sudah membanjiri keningnya. Senyumnya mengembang tatkala melihat kejadian itu.Dia tampak lucu saat mengelap keringat.Dimas bisa melihat kebosanan Nina saat menemaninya meninjau lokasi.Setidaknya ada 12 kuapan manifestasi dari rasa kantuknya.Belum lagi panas matahari! Biarlah dia begitu untuk sementara waktu,dan tenang saja sebentar lagi akan ku berikan kejutan buatnya! Pikir Dimas dalam hati.Seulas senyum mampir di wajah teduhnya saat dia memikirkan surprise buat Nina malam ini....
                “Setelah ini kita akan mengunjungi panti asuhan yang bapak pilih kemarin... “ celoteh Nina saat melihat Dimas menyudahi kunjungannya di lokasi itu. Nina melihat guratan lelah di wajah Dimas namun hal itu tak menyurutkan sedikitpun niat Dimas untuk terjun langsung memberi bantuan pada anak-anak panti asuhan hari ini. Sebenarnya bisa saja ia menyuruh anak buahnya memberikan itu semua pada panti asuhan itu.Tapi ada rasa yang berbeda saat ia bisa memberikan itu sendiri,dengan tangannya sendiri. Dia bisa melihat senyum bahagia bocah-bocah tak berdosa saat menerima pemberiannya.Dia bisa melihat tangan-tangan kecil itu sibuk membuka pemberiannya dan itu takkan didapatnya jika ia tak terjun langsung memberi bantuan.
                “Oke..lokasinya nggak jauh dari sini kan? “ Dimas memandang keluar jendela mobil.
                “Iya pak...mungkin sekitar 15 menit kita sudah sampai.... rencananya kita akan buka puasa dan sholat maghrib disana bareng anak-anak panti. Apa bapak ada jadwal lain sejauh ini..? “ Nina berbicara sembari membuka jadwal Dimas di agenda kerjanya.
                “Oh nggak ada kok...bisa kan kamu temenin aku makan di luar nanti? Aku mau ke restoran baru punya temenku,sekalian silaturahmi..kamu ada jadwal?” Dimas bertanya balik. Dalam hati ia berharap tak ada rencana yang disusun oleh Nina agar ia bisa mengajaknya pergi.
                Nina menggeleng.Artinya ia bisa melancarkan rencananya hari ini ,malam ini. Dia sudah tidak sabar menunggu saatnya tiba.
***
                “Ayo ..yang mau dapet hadiah baris dulu...” ucap Nina -setengah berteriak- pada anak-anak di depannya. Ia sangat senang sekali melihat senyum anak-anak itu mengembang saat menerima bingkisan yang sudah ia siapkan. Setiap bingkisan yang diberikannya, akan terdengar satu ucapan terima kasih tulus dari bibir mereka. Pandangannya meluas, melihat sekeliling.Pada saat itu juga, tatapannya bertemu pada sosok pria tinggi yang juga sibuk membagikan bingkisan. Senyum ramahnya selalu disunggingkan ke bocah-bocah itu dengan sesekali tawa bergulir di wajahnya. Ada rasa hangat menjalari tubuhnya saat melihat peristiwa itu. Pria itu begitu tulus dan baik hati. Belum lagi wajah dan postur tubuhnya yang ideal ditambah kekayaan dan jabatan yang dimilikinya membuat pria ini begitu sempurna.
                Nina kembali teringat saat pria itu melamarnya dua minggu yang lalu. Rasa terkejut memenuhi pikirannya saat itu. Bagaimana tidak, dia tak menyangka pria sempurna itu mencintainya-terlebih ia ingin memiliki dirinya. Dan hari ini, ia akan memberikan jwaban pada pria itu,meski ia belum  yakin sepenuhnya pada keputusan besarnya itu. Tapi dia takkan mundur lagi-setidaknya dia tak mau mengecewakan pria baik ini.
                Nina tersentak dari lamunannya saat seorang bocah menghampirinya dan memanggil-manggil namanya “ Tante...punya aku mana? “ ucapnya lugu sambil menarik-narik bagian bawah rok Nina.
                “Ini sayang.... “ Nina memberikan bingkisan dan tak lupa menyunggingkan senyumnya pada bocah itu.Setelah melihat semua bingkisan sudah habis dibagikan, Nina merapikan sisa-sisa kotak yang tersisa dan bersiap untuk sholat maghrib bersama anak-anak panti dan Dimas.