Selasa, 19 Februari 2013

Curhat Sang Secret Admirer : Ketika Cinta Tak Butuh Balasan



Teman-teman mengenaku sebagai pribadi yang sensitif, kadang jahil, seringnya tak serius tapi bisa dijadikan tempat untuk bercerita. Ya, aku senang sekali mendengar cerita dari teman-teman saya, apa saja aku akan dengarkan ― apalagi kisah cinta mereka. Ada kepuasan tersendiri saat aku bisa membantu mereka menyelesaikan setiap masalah.
            Tapi, sebenarnya aku tipikal orang yang sulit untuk menceritakan kehidupan pribadi saya kepada orang lain. Seringnya, aku menceritakan ini semua kepada mama, yang juga setia mendengar setiap celotehan aku yang kadang tidak penting itu. Kadang, aku juga bercerita pada sahabatkuyang notabene laki-laki karena aku merasa lebih nyaman menceritakan itu padanya ketimbang pada teman perempuanku sendiri.
            Lalu tentang cinta pertama ini. Cinta pertama ini pun tak pernah berpindah objek. Selalu pada arah yang sama. Selalu pada alur yang tak berbeda. Cinta pertama? Jadi benar pria ini cinta pertamaku? Lalu mengapa aku bisa mendefinisikannya seperti ini? Memang bagaimana rasanya?

Tentu, cinta pertama itu selalu terasa manis bagimu. Mengecapnya adalah hal paling menyenangkan yang pernah ada. Seperti segala sesuatu yang terjadi pertama kali, cinta pertama pun tak pernah luput dari kata “takut mencoba”. Ya, awalnya aku pikir semua yang terjadi padaku adalah hal tak lazim. Bagaimana tidak, aku yang dulunya cuek kini mulai mencurahkan perhatian pada sosok pria yang cukup familiar di kampusku. Sosok itu memang begitu sempurna, wajah tirus berahang tegas, senyum yang memesona serta kacamata yang membingkai wajahnya begitu membuatku terpikat.
Tapi cerita ini tak pernah diketahui. Cerita tentang pria ini kusimpan rapat-rapat dalam hati. Tak ada satupun yang tau mengenai rasa yang menggebu-gebu ini terhadapnya. Iya, mereka  tahu bahwa aku menyukai seseorang, tapi mereka tak tahu siapa sebenarnya orang itu. Aku lagi-lagi tak ingin berbagi cerita dengannya. Aku hanya mau perasaan ini berkembang dengan sendirinya, tanpa ada siapapun yang tahu― termasuk  si objek dalam cerita ini. Bodoh,kan? Mencintai tanpa diketahui. Merindu tanpa pernah dirindu. Aku tahu semua yang kulakukan adalah tindakan bodoh , tapi aku tak berdaya dengan semua ini.

            Setiap kali kami berpapasan, sinus takikardia mulai menyerang jantungku. Senyumnya yang memesona sangat menular, membuatku tak pernah lupa membalasnya kembali. Hei, aku tak hanya mengagumi paras eloknya saja, selain itu dia juga pintar dan pandai bergaul, jauh dari aku yang notabene mahasiswi biasa yang pergaulannya terbatas.
            Saat OSPEK, aku memang sudah mencuri-curi pandang padanya. Dia memang terlihat cuek tapi aku tahu dia sebenarnya orang yang ramah dan murah senyum. OSPEK membuatnya sulit mengurai senyum di depan mahasiswa. Sejak saat itu aku mulai mencari tahu tentang dirinya. Dia adalah pria yang tak pernah luput mengerjakan sholat lima waktu, itu memberinya bonus lebih dalam pandanganku. Wajahnya yang rupawan terhiasi oleh cahaya teduh yang melingkupi, membuatnya semakin memesona.
            Aku tahu bahwa yang kurasa itu adalah cinta, bukan sekedar rasa kagum yang menguar sementara. Aku tahu aku hanya bisa memandangnya dari jauh, tak mungkin bisa menggampainya lebih dekat. Segalanya memang terasa mustahil antara aku dan dia. Tapi, entah mengapa memandang wajahnya saja sudah cukup membuatku bahagia. Kadang, ketika cinta itu tak bersimpangan, artinya tidak harus memiliki,bukan?
Memandangi senyumnya sudah cukup membuat hati merekah. Bertatapan dengannya sudah membuatku bahagia. Apalagi yang mesti ku cari? Perasaan yang sama terhadapku? Tidak. Aku tidak menuntut lebih terhadapnya. Selama aku masih bisa memandanginya, itu sudah cukup. Bagiku, dialah hal terindah yang pernah mewarnai hari-hariku di kampus tercinta
            Terima kasih telah menciptakan pelangi diantara langitku, aku akan mengingatmu sebagai hal termanis yang pernah aku kecap dalam hari-hariku. Semoga kamu bahagia bersama pilihanmu, karena jika begitu bahagia juga akan menyertaiku J.
            I LOVED YOU.
                                                                                                            With love,
                                                                                                            @mirandakazuto


tulisan ini aku ikutkan ke lomba di http://lombamenulis.tumblr.com/post/42021064702/lomba-menulis-tema-curhat-by-pelangi-kata-dl-20 
pengumuman tanggal 13 april 2013, wish me luck!

Berbatik, kenapa tidak?



                “Tidak semua yang menjadi kebudayaan itu benar dan selama itu benar maka peliharalah.”
                Lihatlah bagaimana masyarakat Indonesia dengan mudahnya memilih hal-hal yang berbau barat ketimbang menoleh ke produk buatan dalam negeri. Mereka belum tersadar bahwa sebagian besar bahan baku produk impor yang mereka banggakan karena harus membeli di luar negeri mengambil sumber daya alam negeri sendiri. Jadi masihkah harus berbangga dengan produk luar?
                Paham yang mengatasnamakan westernisasi dipandang lebih baik ketimbang easternisasi berkembang pesat. Sulit mencari orang yang benar-benar mencintai budayanya sendiri, bangga akan hasil produk lokal dan tak pernah canggung memakainya di segala event. Kalaupun itu ada, pasti hanya segelintir orang dan mereka dapat dipastikan adalah orang yang mengerti seni. Sebut saja mengenakan  batik dalam kehidupan sehari-hari. Batik dulunya identik dengan hal-hal formal, penggunaannyapun sangat terbatas pada event-event tertentu dan kebanyakan pencinta  batik adalah orang tua. Anak muda segan mengenakannya lantaran dianggap “pakaian orang tua”. Mereka telah teracuni hal-hal yang mengandung unsur westernisasi dan mulai meninggalkan pijakan mereka berdiri; kebudayaan timur.
                Bangsa lain yang mengamati kondisi ini mengambil kesempatan untuk mengakui budaya Indonesia adalah budaya milik mereka , warisan lelehur mereka. Di saat itulah bangsa Indonesia menyadari bahwa milik mereka telah direbut dan mulai mengakui kalau budaya itu milik bangsa Indonesia. Seringnya, yang teramati di lapangan adalah kita hanya bisa berkoar tanpa mengambil tindakan. Kita kadang terlambat mematenkan apa yang memang menjadi milik kita. Tidak usah jauh-jauh, sekedar memakainya pun kita enggan, sekedar bangga padanya pun juga masih sangsi. Lalu salahkah bangsa lain merebut kebudayaan itu?

                Beberapa orang yang berinisiatif mempromosikan budaya Indonesia lalu bermunculan.  Batik pun sekarang dikreasikan dalam berbagai rupa, warna dan corak. Canting dan malam pengrajin batik semakin giat menggoreskan pola di sehelai kain  batik . Kita bisa melihat perkembangan pesat dari batik dengan ditemukannya usaha toko batik, butik batik, bahkan  batik online dimana mereka bisa berbelanja batik melalui koneksi internet. Selain penjualan batik yang kian menjamur, internet pun kini telah menjadi wadah untuk mempromosikan batik secara elektronik via blog , sebut saja www.berbatik.com, e-commerce batik pertama di Indonesia mengajak blogger menunjukkan kecintaan pada batik .
Kebudayaan bagi bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang sakral dan fundamental mengingat beragam rupa kebudayaan itu hadir, mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari. Sebut saja hal pokok yang dibutuhkan setiap manusia;  sandang, pangan, dan papan. Negeri beraneka aset budaya tak ternilai ini perlahan telah sadar akan potensi hal itu.
Bangsa barat saja mengapresiasi batik dengan bangga, lalu mengapa kita sulit bangga atas milik kita sendiri? Mulailah cintai budaya kita bukan karena kebudayaan itu hampir direbut bangsa lain, tapi memang karena kita mencintainya layaknya sesuatu yang memang ada di dalam diri kita. Tentu kita tidak harus menganut konsep “cinta tak harus memiliki” pada kebudayaan sendiri,bukan?
Ayo, mulailah berbatik dari sekarang, karena kalau bukan kita, siapa lagi?
Salam Batik! :)