Sabtu, 29 Desember 2012

Jerman dan Korea

                “Nanti kalo kita udah besar , janji ya kita bakal ketemu di bandara ini. Kamu pulang dari Jerman , aku dari Korea.”
                “Iya , janji deh.” Kelingking mungil Cherry lalu mengait pada kelingking Steve. Janji masa kecil. Janji sederhana yang hingga dua puluh tahun masih tetap diingat secara rinci oleh keduanya. Di belahan bumi berbeda mereka tersenyum mengingat masa itu. Ingatan yang sama meski ada di tempat yang berbeda. Inikah saatnya kisah itu kembali dimulai?
                Cherry tersenyum kecil mengingat sepotong memoarnya bersama Steve. Mereka  bersahabat dari kecil. Kalau ada Cherry, pasti disana ada Steve; begitupun sebaliknya. Mereka selalu menghabiskan waktu bersama, meski terkadang di selingi pertengkaran kecil khas anak-anak.
                “ Aku nggak mau jadi pasien. Aku takut disuntik.” Teriak Cherry setengah berlari, menghindari jarum suntik plastik milik Steve.
                “Nggak sakit kok,dek! Cuma kayak digigit semut doang!”Bujuk Steve. Ia lalu menarik lengan baju Cherry, pura-pura menyuntik.
                “Nggak sakit,kan?” ujar Steve, tersenyum pada Cherry.
                Annio, Oppa...” bisik Cherry lega. Cherry lalu menarik lengan Steve “ Sekarang giliran aku ya, kita masak Kimchi!”
                Impian masa kecil itu terealisasikan di masa berikutnya. Steve   mengambil kuliah kedokteran di Jerman sedangkan Cherry yang bercita-cita kuliah di Sekolah Seni Seoul. Mereka berjanji bertemu hari ini. Tepat  dua puluh tahun saat mereka berpisah.  Mereka sengaja tak pernah memberikan nomor ponsel, alamat, e-mail atau apapun yang bisa membuat  mereka saling berhubungan. Mereka memang ingin memberi kejutan pada masing-masing. Mereka hanya berbekal sepotong ingatan masa lalu untuk bertemu. Bagaimana sosok Steve saat ini? Batin Cherry.
                Cherry membereskan kopernya, bersiap-siap menuju Bandara .
***
*to be continued

Jumat, 28 Desember 2012

GA YaAllahBeriAkuKekuatan, Aida MA



 Assalamualaikum, berhubung ada giveaway dari mbak Aida, saya iseng-iseng buat sekilas cerita dari orang di sekitar saya. Semoga bisa bermanfaat :)

Azizha masih mengerjap tak percaya. Meski undangan pernikahan itu telah digenggamnya, bahkan dibacanya berulang kali seolah tak percaya kalimat perkalimatnya, ia masih saja bergeming; tak mau mengindahkan logika yang sedari tadi menuntutnya tersadar. Masih terbesit di benaknya bahwa ini tak lain hanyalah mimpi buruk belaka. Omong kosong. Tak mungkin.Nanti kan ada seseorang yang akan membangunkannya dari mimpi buruk ini; pikirnya. Siapa? Lelaki yang namanya tercantum di undangan itu? Ia tertawa hambar. Kenyataan memang kenyataan, hingga tanpa disadari air mata menetes meski tatapan nanar itu masih merundung di wajah mungilnya.
Percakapan di tengah rinai hujan minggu kemarin itu kembali mengisi lamunan Zizha. Ia dan lelaki itu, sangat menikmati setiap obrolan yang tercipta hingga laki-laki itu mengeluarkan kertas berisi kabar duka yang kini digenggamnya.
“Kamu tahu aku masih mencintaimu.” Zizha menghela napas panjang. Setelah lima tahun mereka melewati hari-hari bersama, setelah yakin semuanya akan berakhir dengan indah, setelah berimajinasi nama mereka akan disatukan dalam sebuah kertas berpita, harapan itu lalu tersedot masuk jauh ke lubang hitam; membuat hati yang berbunga-bunga itu keriput layu.
“Maafkan aku,Zha. Pernikahan ini tak pernah aku rencanakan.”
“Kau hanya merencanakan untuk menghancurkan hatiku,kan?” Zizha tertawa getir. Air mata itu  tak tahan bertahan lama dalam kantungnya. Ia keluar tanpa diinstruksikan lagi oleh Zizha.Isakan tangis mulai terdengar dari bibir mungilnya.
“Demi Allah, Zha! Kau tahu bagaimana hatiku,kan?”
“Hati yang kini menyelingkuhi cintaku? Apa yang mesti aku tahu dari itu?”
“Kau tahu itu cuma milikmu. Tak mungkin aku rela memberinya pada wanita lain.”
“Mungkin iya. Tapi toh nyatanya kau memberikan hidupmu pada wanita lain. Apa itu dua hal yang berbeda?” ujarnya sarkastik.
“Tolong dengarkan aku,Zha. Aku tahu kamu pantas membenciku. “
“Bagus kalau kamu sadar.”
“Tolong jangan sudutkan aku seperti ini. Aku juga tak menginginkan kenyataan ini, Zha. Keadaan yang memaksaku begini. Tolong mengertilah.”
“Aku mengerti . Aku mengerti sekarang bahwa kita memang hanya akan selalu jadi dua garis sejajar yang tak pernah bersimpangan. Apa itu karena cacatku?”
“Aku tak pernah memikirkan hal itu. Tapi orang tuaku terlalu teliti dalam hal ini. Aku tak bisa mempertahankan argumenku di hadapan mereka.”
“Kau hanya ragu memilihku.”
Wallahi... aku tak pernah...”
“Jangan pernah bawa nama Allah dalam ucapanmu. Kau tahu setiap yang keluar dari bibirmu itu akan dipertanggung jawabkan kelak.”
“Apa aku harus kawin lari denganmu agar kamu percaya?”
“Tak perlu. Dengan ini saja aku tahu Allah tak menjodohkan kita dalam pernikahan.”
“Maafkan aku.”
“Tak perlu, aku tahu ini mungkin yang terbaik bagi kita. Selamat tinggal. Semoga kamu bisa membina rumah tangga yang sakinah bersamanya.”
Bahu Azizha lalu disentuh oleh seseorang. Ia tersentak dari lamunannya.
“ Berhentilah menyakiti dirimu sendiri. Aku tahu kamu wanita yang kuat, adikku!”
“Iya, kak. ”
“Bersyukurlah dia bukan jodohmu. Setidaknya kamu tak perlu tersakiti lebih lama lagi ketika menikah, karena orang disekitarnya masih tak tulus menerima keadaanmu.”
“Aku sadar Allah akan memberikan segala yang terbaik bagi orang-orang  yang bertawakal atas takdirnya. Aku percaya.” dalam hati ia berbisik " Ya Allah beri aku kekuatan." 

"Ada kalanya kebahagiaan itu masih kelabu di matamu, namun itu terukir jelas dalam lauh mahfudzh. Jangan menyalahkan keadaan hanya karena keinginanmu tak sesuai dengan apa yang tercantum dalam kitab Allah. Kuatlah dan bersukurlah."




Jumat, 14 Desember 2012

cyber couple (part 1)



Semuanya sia-sia saja. Seluruh saraf di tubuhku telah dikuasai olehnya. Tak ada hal yang bisa kulakukan selain merelakannya mengendalikan jalan pikiranku. Padahal, aku tahu kami hanya pasangan dunia maya. Cyber couple. Dunia kami saja tak nyata, mungkinkah rasa ini tak absurd? Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi saat ini, yang ku tahu; dia telah mengalihkan duniaku. Kita sendiri, ada di belahan dunia berbeda, dengan latar belakang kontras dan tentunya bahasa yang sama sekali tak sama. Aku sendiri tak terlalu paham dengan bahasanya, sama seperti dia yang hanya tahu 2 kata formal dari bahasaku. Tapi itu tak menyulitkan kita, bukan? Tentunya, itu berkat paman google yang tak pernah bosan mengartikan percakapan kita.
“Bagaimana kuliahmu hari ini?” kalimat pertama yang muncul di akun skype-ku malam itu.
“ Begitulah, tak ada hal yang istimewa. Lalu bagaimana pekerjaanmu? Kau mendapatkan proyek yang kau inginkan itu?”
“ Seperti yang kau kira,honey. Aku memenangkan proyek itu. Ah, jika kau disini, mungkin aku sudah mengajakmu berpesta.”
“Kau bisa mengajakku berpesta.”
“Bagaimana bisa? Kau mau datang kesini? Ke Perancis?”
“Tentu tidak.”
“Lalu bagaimana mungkin aku bisa mengajakmu berpesta?”
“ Ambillah winemu dulu. Berpakaianlah yang rapi, aku akan menunggumu.”
Lalu aku mengambil sebotol wine dari rak, menuangkannya ke gelas; sejurus kemudian aku mengganti kaos oblongku dengan gaun sederhana. Aku lalu duduk di depan laptopku sembari merapikan rambutku, mengoleskan samar  lipstick peach kesayanganku.
“ Aku sudah siap. Lalu bagaimana selanjutnya?
“Kau hidupkan video callmu. Oke?” beberapa detik kemudian, jendela video call muncul lalu “Tadaa....” teriakku sembari  berpose bak model. “ Bagaimana, kau sudah siap mengajakku berpesta malam ini?”
“Amazing. Kau begitu cantik, sayang.”  Dia tersenyum memandangi diriku. “ Siap pergi?” Dia lalu menyentuhkan jarinya ke laptop, seolah-olah mengulurkan tangannya padaku. Aku pun membalas hal yang sama. Ia mencium punggung tanganku dari laptopnya. Meski dia tak berada di hadapanku, tapi debaran jantung ini nyata. Aku yakin wajahku memerah karena tingkahnya.
Malam itu kami berdansa di dunia maya.

Senin, 10 Desember 2012

a message

kamu tak perlu pikirkan bagaimana aku nantinya.pikirkan saja bagaimana kau bisa membahagiakan orang tuamu,menyekolahkan adik-adikmu, membuat dirimu sukses. aku bahagia jika nanti senyum kesuksesan itu terukir di wajahmu beberapa tahun nanti. kita sama-sama berjuang sayang!

pergi...

aku harus menjauh darimu.sejauh mungkin.agar kau tenang.supaya kamu bahagia.tanpa ada beban yang tersisa sedikitpun.tak ada hal lain yang mesti ku lakukan selain menghilang dari hidupmu selamanya. itu kah yang kamu inginkan? memang seperti itu, kan? untuk apa aku disisimu jika yang ku dapati kau malah bersedih karenaku. buat apa aku merindumu jika itu hanya membuatmu terbebani oleh rasaku. aku tak menuntutmu membalasku; membalas semua hal yang ku berikan padamu, aku rela melakukan itu. meski aku tahu selama itu pula aku tersakiti karena kau lebih memilihnya ketimbang aku. aku tahu cintamu padanya lebih besar daripada rasa kasihanmu padaku. aku tidak akan merengekkan rasa itu secuilpun kau bongkar dari relung hatimu. selama kau bahagia, aku bahagia. jika kau bahagia aku pergi, aku akan pergi.

jadi aku harus merangkak perlahan dari hidupmu. membiarkan kau menghirup oksigenmu sendiri, meringankan sesak yang selama ini kau rasa. aku tahu aku tak pantas ada di sampingmu. sekedar melihat batas senyumanmu pun tak pantas. jadi, aku akan pergi, tanpa perlu ucapkan selamat tinggal, karena mungkin kita tak pernah mengucap kata perjumpaan sehingga ini mungkin bukan perpisahan.

hati ini begitu egois. dengan angkuhnya ia duduk di singgasana pikiranku; mengendalikan nalar dan logikaku; membiarkan semua memori di hipokampusku yang bertuliskan tentangmu menari-nari berulang-ulang setiap harinya. aku tahu mencintaimu adalah hal yang menggiurkan. aku masih berani mencintaimu selama kita masih di bawah langit yang sama.

meski kau tak pernah biarkanku ada di hatimu, biarkanlah senyummu ku bawa pergi denganku.