Sudahlah. Aku sudah terlalu lelah membenci rindu. Sekuat
apapun aku membencinya, ia tetap saja enggan beranjak dari memori otakku.
Berhentilah. Aku tahu ini saatnya aku berhenti mencandu ragu. Sejauh apapun aku
pergi, ia tetap saja hadir di hadapanku. Lupakanlah. Aku kini sadar tak ada
cinta yang sedikitpun tersisa. Segigih apapun aku berjuang, nyatanya takdir tak
bergeming, tak sedikitpun memihakku. Hilangkanlah. Aku harap aku menghilang
dari hidupnya, hingga rindu,ragu dan cinta jatuh pada hati selain dia.
***
Puncak Jaya, April 2010
Ini adalah sebuah
impian besar. Bagi seorang pendaki gunung seperti Edho, Pegunungan Jayawijaya
adalah sebuah impian besar. Bagaimana tidak, pegunungan yang merupakan salah
satu dari tujuh puncak benua ini merupakan langkah awal baginya untuk menjejaki
enam puncak lain di belahan dunia.
Berdasarkan
info dari pendaki lain dan blog-blog dari hasil surfing di dunia maya, ternyata untuk mendaki gunung ini ada dua
akses, yaitu melalui freeport dan ilaga. Pendaki gunung ini harus memiliki
rekomendasi dari kantor Menpora, Kapolri, BIA – intelejen Indonesia,
Menhutbun/PKA, PT Freeport Indonesia (PTFI). Kalau mau lewat Tembagapura dhoambah
dari Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI). Itu semua harus diurus di Jakarta.
Lalu di Jayapura, rekomendasi dari Bakorstranasda dan Kapolda harus dikantongi.
Di Timika, rekomendasi EPO dan izin PTFI untuk fasilitas lintasan. Terakhir di
Tembagapura, koordinasi dengan Emergency
Response Group (ERG) untuk penanganan Emergency
Procedure dan aparat Satgaspam untuk masalah keamanan lintasan. Sementara
untuk akses Ilaga, dibutuhkan lebih banyak lagi biaya dan waktu yang lebih lama
untuk mencapai kemah induk. Oleh karena itu mereka lebih memilih jalur freeport.[1]
Semua sudah teratasi dan Edho beserta
tim pendaki gunung telah siap menaklukan Pegunungan Jayawijaya.
Puncak Jaya adalah tujuan
utamanya. Puncak yang mempunyai ketinggian 4884 mdpl dan di sekitarnya terdapat
gletser Carstenz,
satu-satunya gletser tropika di Indonesia― adalah tujuannya sebelum pemanasan global
benar-benar melenyapkan gletser itu. Andai
ia bisa bersama Khanza menikmati gumpalan salju terbentang sepanjang mata
memandang.
Ia kembali
teringat email terakhir Khanza padanya.
From: khanza_snow@yahoo.com
Subject: That’s
why i call you “Blue”
Hi, Blue!
Hahaha,
pasti dahimu berkerut karena aku selalu memanggilmu sama seperti Joe memanggil
anjingnya di Blue’s Clues. Kamu tahu kenapa aku menamaimu Biru? Ya, kamu pasti
langsung berkata karena aku menyukai warna itu. Ya memang benar, tapi aku lebih
menyukai filosofinya. Biru melambangkan ketenangan,
keheningan, kesetiaan, keamanan, kenyamanan, perlindungan, rasa percaya,
kecerdasan, sensitif, bisa diandalkan dan stabil. Itulah yang aku rasa
darimu. Semuanya. Kamu punya sifat
positif dari warna biru yang tak aku miliki. By the way, semoga kamu bisa tiba
di puncak jaya dan kembali kepadaku secepatnya. Gonna miss you!
Ia lalu membalas email itu bersama selembar foto gunung bersalju.
Email terakhir sebelum dia mengadakan ekspedisi panjang itu.
From : edho_blue@yahoo.com
Subject : Eternal Snow
Tunggu
saja, dua minggu kedepan aku akan mengirimkan fotoku bersama rimbunnya salju
abadi di puncak jaya. Akan ku-petieskan kepingan salju itu bersama harapan dan
masa depan kita.
Always love
you,
Your Blue
***
Nyatanya aku
masih terpaku. Memandang cermin di hadapanku tanpa gairah. Sudah tiga tahun
berlalu dan perasaan ini sedikitpun tak berubah. Aku masih menginginkan dia,
menggandengnya, merangkulnya, menciumnya, mencintainya.
Aku tahu kebodohan ini terlalu aneh untuk kuanggap nyata. Tuhan, begitu ingin
aku memandangnya hingga pikiran halusinasi mendominasi otakku. Tiba-tiba saja,
sosok itu muncul di hadapanku sembari melengkungkan segaris senyum. Dia
mendekat, begitu dekat hingga aku bisa mencium aroma musk favoritnya.
“Apa kabar?”
bisiknya di telingaku. Aku masih terpaku, tak percaya dengan apa yang kulihat.
“Selalu sama.
Merindukanmu, menginginkanmu, dan mencintaimu..” jawabku refleks. Rindu yang
telah membuncah memaksaku menariknya dalam pelukku. Oh Tuhan, betapa rindunya
aku akan rengkuhnya.
“ Kamu kemana
saja selama ini? Kamu tahu? Aku sangat merindukanmu..”
“Aku selalu ada
di dekatmu. Di sampingmu. Aku akan datang jika kau menginginkanku. Seperti saat
ini..” Dia mempererat pelukannya, membiarkan bahunya basah oleh air mata yang
perlahan menetes.
“Kamu jahat! Kamu
tahu, berapa banyak bulir air mata yang tumpah karenamu? Aku bingung, marah,
kecewa!” ujarku sembari memukul ringan dada bidangnya. Aku tahu ini bukan waktu
yang tepat untuk menumpahkan amarah yang kupendam.
“Maafkan aku,”
gumamnya. Ia memegang kedua bahuku, membawaku berhadapan dengannya. Ia lalu
mengecup puncak kepalaku, membiarkanku bersandar lebih lama di bahunya. Biarkan waktu berhenti sebentar saja.
***
“Kenalkan aku
pada ibumu..” pintanya di suatu senja yang memerah. Aku lalu menoleh padanya,
menyodorkan tatapan seribu tanya.
“Kamu sudah siap
bertemu ibu lagi?” tanyaku ragu. Terakhir kali mereka bertemu adalah saat
dimana aku pertama kali mempertemukan mereka berdua. Ibu yang overprotektif
terhadap diriku tak menyetujui hubungan kami berdua.
“Cepat atau
lambat aku harus menemuinya. Apa kamu tidak mau kita segera menikah?” Dia lalu melingkarkan
lengannya di pinggangku, melemparkan senyum yang bertendensi membuatku tertular
untuk melakukan hal serupa. Namun yang tak aku sadari adalah sentuhannya yang membuat
darahku bergejolak, meneruskan aliran yang cepat ke kedua pipiku. Aku tersipu.
“Diam berarti
iya,” Ia kembali tersenyum. Senyum teduh itu selalu berhasil menenangkan
sekujur saraf di tubuhku. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, bahu yang
selalu siap menahan laju air mataku.
Pintu kamarku
diketuk. Ini saatnya ibu datang bersama tiga orang berpakaian putih. Aku lalu
menyuruh Edho bersembunyi di belakang pintu.
“ Bagaimana
harimu?” ujar si pria berkacamata, salah satu dari orang itu.
“Menyenangkan,”
jawabku singkat. Pria satunya melingkarkan manset sphigmomanometer ke lenganku, menekan pompa beberapa kali sembari
melihat angka di ujung selang lainnya.
“110/70, Dok!”
serunya saat perlahan melepaskan manset itu. Pria itu lalu menanyakan apa yang
terjadi kemarin. “ Dia datang menemuiku,” jawabku mantap.
Dahi pria itu
berkerut. Ia memandang ke sekeliling kamarku dan tak menemukan jawaban atas
pernyataanku. “Dimana dia?”
Aku beralih
pandang dari pria berkacamata itu ke sosok Edho yang ada di belakang pintu. Aku
tersenyum, diikuti lambaian tangan ke arahnya. Pria itu lalu menuju ke arah Edho
dan dia dengan sengaja menginjak kaki Edho!
“ Hei, jangan
injak kaki pacarku!” Pria itu sontak menyingkir, lagi-lagi dengan pandangan
penuh tanya. Ketegangan berhasil terbentuk diantara aku dan pria itu. Ia tetap
bergeming, meski posisi kakinya sudah tak menginjak Edho lagi.
“Tidak ada orang,
Za,” ujar ibuku datar.
“Apa kalian semua
tidak lihat? Edho ada dibelakang kalian, tersenyum untuk kalian.” Aku berusaha
membuat mereka percaya bahwa Edho benar-benar ada. Mata ibu lalu berkaca-kaca, mengindikasikan
akan keluarnya air mata yang tertahan di pelupuk matanya.
“Dok,” gumamnya
pada pria itu. Ibu lalu melenggang keluar kamar, namun tidak diikuti oleh kedua
orang itu.
“Mau apa kalian?”
Pertanyaanku hanya dibalas dengan satu suntikan yang bersarang di lengan
kananku, berhasil membuat pandanganku berubah gelap.
“Siapa sebenarnya
Edho, Bu?” ujar pria berkacamata itu.
“Edho adalah
mantan pacar Khanza. Ia menghilang saat mendaki gunung tiga tahun lalu,” Tutur
Bu Fatimah, seraya memandang jauh keluar jendela.
“Khanza tak
berusaha mencari pengganti Edho?” Ia tersenyum tipis, membiarkan pertanyaan pria
itu menggantung di udara. Sejurus kemudian ia lalu membuka suara “ Edho adalah
cinta pertamanya, dan mereka berencana menikah dua minggu setelah kejadian itu,”
Pria itu
mengatupkan bibirnya, kehilangan daya untuk bicara.
***
“ Are you feeling blue?”
Ia menggeleng
keras. Hari ini, saat matahari mulai merangkak pergi, ia terpaku memandang
hamparan langit berselimut rona jingga. “ Aku ingin ke surga,”
Untuk sepersekian
detik aku masih belum bisa mencerna kata-katanya. Ingin ke surga katanya?
“ Kamu ingin meninggalkanku?” Masih membelakangiku, ia menjawab
dengan satu anggukan. “ Bisa berarti juga kita meninggalkan mereka,”
“ Aku tidak
mengerti maksudmu,”
“ Kita bisa ke
surga bersama. Aku dan kamu. Kita akan hidup bahagia disana,”
Kali ini gantian aku
yang menggeleng keras. Pembicaraan ini semakin tidak masuk akal. “ Bagaimana
mungkin aku meninggalkan keluargaku?”
“ Aku tidak bisa
ada disini selamanya. Kamu harus memilih.”
“Aku tidak bisa
meninggalkan keluargaku, Dho,”
***
Setiap hari, setiap jam, setiap menit ia mencekokiku agar aku mau
bersamanya. Pergi meninggalkan dunia ini. Aku tidak tahu lagi bagaimana aku
bisa menolak permintaannya yang satu ini. Edho yang kukenal tenang dan membuatku
nyaman, berbuah menjadi sosok asing yang kaku dan dingin. Filosofi warna biru
yang amat kubenci.
Jika aku tak menurutinya dia mengomel panjang pendek tentang
bagaimana hidupku tanpa dia dan bla bla bla. Aku muak, aku ingin lepas dari
jeratnya, aku tidak mau mengikuti keinginannya. Tapi aku tidak bisa. Ada
sesuatu dalam diriku yang memaksaku bertahan. Aku tidak tahu mengapa.
“Aku tidak bisa,” ujarku meyakinkan, lebih kepada diriku sendiri.
“Kamu harus bisa!
Atau aku yang akan menghilang dari kehidupanmu,” Suaranya meninggi dan sedikit
memaksa. Urat lehernya menegang.
“ Jangan bersikap
kekanak-kanakan seperti ini, Dho,” Ujarku dengan suara bergetar.
“Aku cuma
memberimu dua pilihan. Ikut aku atau aku akan pergi,”
Aku berpikir
sesaat. Jika aku tetap memilih keluargaku, Edho akan benar-benar pergi. Tiga
tahun tanpanya saja sudah sulit, apalagi harus benar-benar berpisah dengannya.
Aku tidak sanggup kehilangannya lagi. Akhirnya aku memutuskan “ Bagaimana
caranya agar sampai ke surga?” Senyumnya mengembang.
Edho ternyata
membawaku menuju balkon, tepat di depan kamarku. Langit senja tengah menebarkan
garis-garis indigo diantara rona jingganya. Edho mengenggam tanganku erat,
mengalirkan kehangatan ke sekujur tubuh.
“Kamu percaya
padaku, kan?” Aku mengangguk pelan. Ia lalu membimbingku menaiki pagar pembatas
balkon dan membisikkan “ Terjunlah bersamaku,” Aku menutup mata, membiarkan
tubuh mungil ini mengalah pada gravitasi.
“Za, jangan.!!!!”
Teriak ibuku, menyentakku kembali ke alam sadar. Terlambat, tubuhku telah terhempas secepat laju cahaya. Tuhan,
maafkan aku.
***
Begini rasanya
mati. Dingin. Hampa. Lalu dimana surga? Masih dalam kebingungan, mataku terpaku
pada tubuh kaku yang berada tak jauh dariku. Tubuh itu tengah dipeluk oleh
seseorang yang amat kukenal. Edho?
Aku masih
menyangsikan dengan apa yang ada di depan mataku. Aku lalu berlari ke arahnya,
mencoba merengkuhnya, tapi mengapa tubuhku tembus pandang? Tuhan, aku baru
sadar bahwa aku ada dimensi yang berbeda.
“Kemana saja kamu
selama ini?” Edho tak menggubris
perkataan Leo, dokter berkacamata itu. Ia malah sibuk berdialog sendiri dengan
tubuhku.
“Maafkan aku, Za.
Jujur, setelah email terakhir yang kukirimkan padamu waktu itu, aku ragu apakah
aku harus meneruskan hubungan ini,”
Lalu kenapa kamu
malah menjanjikan masa depan padaku? Umpatku dalam hati.
“Aku tidak pantas
untukmu. Keadaanku ini hanya akan menjadi bumerang dalam hubungan kita...”
“Aku cacat.
Pendakian gunung sialan itu membuatku harus mengorbankan salah satu kakiku,” Ia
menarik celana jeans-nya hingga
sampai lutut. Ya Tuhan, sebuah kaki palsu bertengger disana. “Aku takut. Aku
malu. Aku pikir aku tidak sepadan denganmu sejak kejadian itu. Akhirnya aku
berlari, menjauh dari hidupmu. Aku harap kamu menemukan pria yang lebih baik
untukmu. Nyatanya kamu malah memilih menunggu lelaki cacat sepertiku,”
Sekali lagi,
kucoba merengkuhnya dalam tubuhku. Nihil, semua sia-sia. Tuhan, beri aku
kesempatan satu kali saja agar aku bisa memberitahunya perasaanku yang
sebenarnya.
“Leo
memberitahuku bahwa kamu masih mencintaiku. Tidak pernah melupakanku. Selalu
merindukanku. Aku pikir kebohongan akan kematianku membuatmu mundur, melupakanku
perlahan. Tapi nyatanya kamu masih seperti dulu...”
“Maafkan aku, Za.
Sungguh, kata maaf tidak cukup untuk pecundang sepertiku.. Aku yang sungguh tak
benar-benar mencintaimu. Maaf karena selama ini aku hanya mencintaimu setengah
hati, I love you but it comes too late,”
bisiknya perlahan.
Ia makin
mempererat pelukannya, membuatku sesak. Mengapa berakhir seperti ini? Mengapa
tidak kau takdirkan aku bahagia, Tuhan? Apa menurutmu bahagiaku adalah berpisah
darinya? Aku tahu Tuhan, aku terlalu egois. Aku tahu Tuhan, rengekanku sekarang
tidak berarti lagi. Aku hanya minta satu, satu doa yang kuharap bisa tiba
langsung di telinganya. Harapan agar dia bisa hidup bahagia, dengan atau
tanpaku. Karena selama dia bahagia, aku juga bahagia―
Aku melangkah
ringan, membumbung tinggi menuju langit, tempat terakhirku bersemayam. Selamat
tinggal.
“Cintailah dia sepenuh hati, bukan sepenuh
jiwa. Karena jika engkau putus, engkau hanya merasa sakit hati, bukan sakit
jiwa.” ― Mario Teguh
[1]
Dikutip dari : http://obyekwisataindonesiaku.blogspot.com/2013/04/puncak-jaya-gunung-bersalju-di-daerah.html
*tulisan ini aku ikutkan dalam #RainbowProject ^^