Assalamualaikum, berhubung ada giveaway dari mbak Aida, saya iseng-iseng
buat sekilas cerita dari orang di sekitar saya. Semoga bisa bermanfaat
:)
Azizha masih
mengerjap tak percaya. Meski undangan pernikahan itu telah digenggamnya, bahkan
dibacanya berulang kali seolah tak percaya kalimat perkalimatnya, ia masih saja
bergeming; tak mau mengindahkan logika yang sedari tadi menuntutnya tersadar.
Masih terbesit di benaknya bahwa ini tak lain hanyalah mimpi buruk belaka.
Omong kosong. Tak mungkin.Nanti kan ada seseorang yang akan membangunkannya
dari mimpi buruk ini; pikirnya. Siapa? Lelaki yang namanya tercantum di
undangan itu? Ia tertawa hambar. Kenyataan memang kenyataan, hingga tanpa
disadari air mata menetes meski tatapan nanar itu masih merundung di wajah
mungilnya.
Percakapan di
tengah rinai hujan minggu kemarin itu kembali mengisi lamunan Zizha. Ia dan
lelaki itu, sangat menikmati setiap obrolan yang tercipta hingga laki-laki itu
mengeluarkan kertas berisi kabar duka yang kini digenggamnya.
“Kamu tahu aku
masih mencintaimu.” Zizha menghela napas panjang. Setelah lima tahun mereka
melewati hari-hari bersama, setelah yakin semuanya akan berakhir dengan indah,
setelah berimajinasi nama mereka akan disatukan dalam sebuah kertas berpita,
harapan itu lalu tersedot masuk jauh ke lubang hitam; membuat hati yang
berbunga-bunga itu keriput layu.
“Maafkan aku,Zha.
Pernikahan ini tak pernah aku rencanakan.”
“Kau hanya
merencanakan untuk menghancurkan hatiku,kan?” Zizha tertawa getir. Air mata itu
tak tahan bertahan lama dalam
kantungnya. Ia keluar tanpa diinstruksikan lagi oleh Zizha.Isakan tangis mulai
terdengar dari bibir mungilnya.
“Demi Allah,
Zha! Kau tahu bagaimana hatiku,kan?”
“Hati yang kini
menyelingkuhi cintaku? Apa yang mesti aku tahu dari itu?”
“Kau tahu itu cuma
milikmu. Tak mungkin aku rela memberinya pada wanita lain.”
“Mungkin iya.
Tapi toh nyatanya kau memberikan hidupmu pada wanita lain. Apa itu dua hal yang
berbeda?” ujarnya sarkastik.
“Tolong
dengarkan aku,Zha. Aku tahu kamu pantas membenciku. “
“Bagus kalau
kamu sadar.”
“Tolong jangan
sudutkan aku seperti ini. Aku juga tak menginginkan kenyataan ini, Zha. Keadaan
yang memaksaku begini. Tolong mengertilah.”
“Aku mengerti .
Aku mengerti sekarang bahwa kita memang hanya akan selalu jadi dua garis
sejajar yang tak pernah bersimpangan. Apa itu karena cacatku?”
“Aku tak pernah
memikirkan hal itu. Tapi orang tuaku terlalu teliti dalam hal ini. Aku tak bisa
mempertahankan argumenku di hadapan mereka.”
“Kau hanya ragu
memilihku.”
“Wallahi... aku tak pernah...”
“Jangan pernah
bawa nama Allah dalam ucapanmu. Kau tahu setiap yang keluar dari bibirmu itu
akan dipertanggung jawabkan kelak.”
“Apa aku harus
kawin lari denganmu agar kamu percaya?”
“Tak perlu.
Dengan ini saja aku tahu Allah tak menjodohkan kita dalam pernikahan.”
“Maafkan aku.”
“Tak perlu, aku
tahu ini mungkin yang terbaik bagi kita. Selamat tinggal. Semoga kamu bisa
membina rumah tangga yang sakinah bersamanya.”
Bahu Azizha lalu
disentuh oleh seseorang. Ia tersentak dari lamunannya.
“ Berhentilah
menyakiti dirimu sendiri. Aku tahu kamu wanita yang kuat, adikku!”
“Iya, kak. ”
“Bersyukurlah dia
bukan jodohmu. Setidaknya kamu tak perlu tersakiti lebih lama lagi ketika
menikah, karena orang disekitarnya masih tak tulus menerima keadaanmu.”
“Aku sadar Allah
akan memberikan segala yang terbaik bagi orang-orang yang bertawakal atas takdirnya. Aku percaya.” dalam hati ia berbisik " Ya Allah beri aku kekuatan."
"Ada kalanya kebahagiaan itu masih kelabu di matamu, namun itu
terukir jelas dalam lauh mahfudzh. Jangan menyalahkan keadaan hanya
karena keinginanmu tak sesuai dengan apa yang tercantum dalam kitab
Allah. Kuatlah dan bersukurlah."