Prolog:
Gerrald
memandang ke sekeliling. Sepi. Tidak ada siapa-siapa disana. Yang perlu dia
lakukan hanyalah mengucapkan mantera itu tiga kali dan timezone ke peradaban Romawi Kuno untuk merampungkan observasi
tesisnya akan terbuka lebar. Bla bla bla.
Cahaya warna-warni kemudian berpendar mengitari dinding gua berselimut lumut
yang mengeras itu. Ia menyentuhnya pelan, namun seolah memasuki lubang hitam,
tubuhnya tertarik kedalam tanpa bisa melawan gravitasinya. Yang terakhir
dilihatnya hanyalah lorong waktu kecil yang membawanya ke dimensi baru. Ia
berhasil.
BAB
I (Gerrald’s Novel)
Mari
kita bercerita tentang kisah dan seteguk kopi yang kunikmati lamat-lamat di
depan jendela besar itu. Hari itu sedang turun hujan dan kita sengaja singgah
di salah satu kedai kopi untuk berteduh. Kamu memesan frapucino sedangkan aku
pasti akan memilih secangkir kopi hitam dengan sesendok gula. Tidak sampai
sepuluh menit, pesanan kita akhirnya tiba. Kopi itu akhirnya menemaniku
mengenang tentang segala hal yang mengitari hidup kita dengan indah. Tentang
asa dan impian. Tentang butir-butir hujan yang memenuhi lekukan dedaunan.Tentang
senja yang memerah di ufuk barat. Tentang kisah Cleopatra dan Julius Caesar.
Kisah yang tak habis termakan jaman. Kini kukembalikan kenanganmu tentang bagaimana
mereka bertemu, bertukar seulas senyum, berpadu, lalu dijatuhi cinta. Mereka
yang ada di dua kubu berbeda, namun memiliki rasa yang sama. Ketika segala hal
dilingkupi oleh rasa berjuta warna itu, pasti kamu akan merasa jutaan kupu-kupu
memenuhi perutmu. Begitu juga yang terjadi pada mereka. Tapi mereka berbeda,
jelas berbeda, namun segala hal akan terasa sama, cinta. Pernahkah kau dengar
bagaimana sulitnya pergulatan hati sang kaisar Romawi itu antara tahta dan
cinta? Iya, cinta memenangkan segalanya. Selalu.
Dunia
memang memandang kisah itu sebagai picisan biasa. Omong kosong. Salah satu taktik
Cleopatra agar Romawi tak berusaha menjatuhkan kedudukannya sebagai ratu Mesir.
Namun bagiku cinta tetaplah cinta, sekalipun
diawali dengan kebohongan dan tipu muslihat. Ia akan mengalir apa adanya,
menjatuhkan pilihan pada seseorang yang ada diluar dugaan kita. Ya,
kadang-kadang dahi kita akan berkerut saat semakin jauh kita membaca setiap
sejarah yang terukir dalam papyrus itu. Namun, yang perlu kau tahu adalah bahwa
cinta itu tak bisa dikelabui, cinta itu memang tidak punya mata, namun ia
memiliki hati. Ia kadang dimiliki orang yang salah, namun tidak dengan cara
yang salah. Yang perlu kita luruskan adalah bagaimana agar cinta itu membuat
orang yang salah bersikap dengan cara yang benar, karena cinta akan selalu menyempurnakan
setiap jengkal kehidupan.
Aku
yang haus karena telah bercerita panjang lebar padamu, lalu kembali meneguk
sisa kopi itu. Kopi itu awalnya manis, kental dan hangat. Namun, semakin
kuteguk habis isinya, rasa pahit dan dingin mulai menyerang ujung lidahku,
memenuhi kerongkonganku. Kopi hitam itu akhirnya tinggal seteguk lagi, namun
kisah ini masih sangat panjang, jelas aku harus menyediakan puluhan cangkir
kopi hitam agar aku bisa menuangkan semuanya dari awal sampai akhir. Aku akan
melanjutkan kisah mereka berdua lain hari, saat kau dan aku punya waktu, rinai
hujan dan puluhan cangkir kopi agar kisah ini tak putus lagi. Di saat itu kita
akan menikmati setiap kata yang keluar dari bibirku dan semuanya akan terasa
menyenangkan.
Kau
mau secangkir kopi yang sama atau malah menuangkan frapucino pesananmu ke
cangkir kesayanganku?
Gerrald memandang puas halaman akhir
bab I di novel kelimanya. Novel yang rencananya ia akan selesaikan dalam kurun
waktu empat bulan. Saatnya ia merenggangkan otot-otot bokong dan punggung yang
terlalu lelah menopang tubuhnya. Sudah seharian jemarinya menari diatas
keyboard laptopnya.
Gerrald. Pria berusia 25 tahun yang
cukup good looking . Tatapannya tajam
tapi membuat siapa saja yang memandangnya terpana, dengan kedua mata yang
memancarkan kehangatan untuk sekitarnya. Garis-garis rahang tegas yang ia
miliki membuatnya terkesan berwibawa , namun kedua lesung pipi yang bertengger
di wajahnya menampilkan sosoknya yang ramah. Kacamata yang membingkai wajah
tirusnya melengkapi wajah innocent-nya,
membuatnya terkesan smart. Koreksi,
bukan terkesan smart, tapi ia memang
cerdas. Peraih cumlaude di pendidikan
jenjang S1 ini kini tengah sibuk merampungkan tesisnya.
Perawakannya cukup tinggi dari
rata-rata orang kebanyakan, 181 cm. Tubuhnya cukup berisi, namun jelas
menyiratkan kerasnya kehidupan yang ia lalui selama hidup. Ia memang bukan dari
keluarga berada. Keluarganya yang pensiunan PNS biasa hanya mampu
menyekolahkannya hingga jenjang SMA. Ia lalu nekat, berusaha meraih gelar S1
dengan bekerja siang-malam di beberapa bidang pekerjaan. Menjadi pelayan? Ia
sudah biasa. Menjadi pengantar koran? Setiap pagi ia geluti. Menjadi petugas
pom bensin? Lumayan mengisi kocek pribadinya. Namun semua hal yang dilakoni
kadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Akhirnya Tuhan mengulurkan
tangan-Nya. Ia diterima sebagai novelis tetap di salah satu penerbit mayor
ternama di Indonesia. Selain itu juga, berkat kerja kerasnya, ia telah memiliki
usaha restoran pribadi di beberapa spot
di Jakarta. Perlahan, pundi-pundinya terisi dan mencukupi biaya kuliahnya, dan
sampai akhirnya ia sekarang hampir menyelesaikan pendidikan S2-nya.
Di tengah perjuangan hidup yang
keras itu, ia beruntung memiliki seorang Ghea, gadis berparas ayu yang
menemaninya melewati hari-hari. Ia bertemu dengan Ghea saat mereka sama-sama
duduk di semester 1. Ghea yang pertama kali mengutarakan perasaan yang dijawab
Gerrald dengan seulas senyum. Awalnya Gerrald ragu, karena kabar yang
diterimanya mengatakan bahwa Ghea adalah gadis yang suka mempermainkan hati
laki-laki. Namun semakin lama ia mengenal Ghea, ia malah menaruh curiga pada
orang-orang yang menyebarkan gosip hoax
itu. Tidak mungkin gadis bertutur lemah lembut seperti Ghea bertingkah seperti
itu.
Sudah 7 tahun mereka lewati dan kini
mereka sama-sama sedang sibuk kesana-kemari untuk menyelesaikan tesisnya. Ia
mengambil judul “Peradaban Romawi Kuno, Antara Cinta dan Tahta”.
“Honey,
kamu mau aku taburin keju atau kuoleskan selai kacang?” ucapan Ghea
menyentaknya ke dunia nyata. Sudah berapa lama ia melamun?
-to be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar