Selasa, 19 Februari 2013

Berbatik, kenapa tidak?



                “Tidak semua yang menjadi kebudayaan itu benar dan selama itu benar maka peliharalah.”
                Lihatlah bagaimana masyarakat Indonesia dengan mudahnya memilih hal-hal yang berbau barat ketimbang menoleh ke produk buatan dalam negeri. Mereka belum tersadar bahwa sebagian besar bahan baku produk impor yang mereka banggakan karena harus membeli di luar negeri mengambil sumber daya alam negeri sendiri. Jadi masihkah harus berbangga dengan produk luar?
                Paham yang mengatasnamakan westernisasi dipandang lebih baik ketimbang easternisasi berkembang pesat. Sulit mencari orang yang benar-benar mencintai budayanya sendiri, bangga akan hasil produk lokal dan tak pernah canggung memakainya di segala event. Kalaupun itu ada, pasti hanya segelintir orang dan mereka dapat dipastikan adalah orang yang mengerti seni. Sebut saja mengenakan  batik dalam kehidupan sehari-hari. Batik dulunya identik dengan hal-hal formal, penggunaannyapun sangat terbatas pada event-event tertentu dan kebanyakan pencinta  batik adalah orang tua. Anak muda segan mengenakannya lantaran dianggap “pakaian orang tua”. Mereka telah teracuni hal-hal yang mengandung unsur westernisasi dan mulai meninggalkan pijakan mereka berdiri; kebudayaan timur.
                Bangsa lain yang mengamati kondisi ini mengambil kesempatan untuk mengakui budaya Indonesia adalah budaya milik mereka , warisan lelehur mereka. Di saat itulah bangsa Indonesia menyadari bahwa milik mereka telah direbut dan mulai mengakui kalau budaya itu milik bangsa Indonesia. Seringnya, yang teramati di lapangan adalah kita hanya bisa berkoar tanpa mengambil tindakan. Kita kadang terlambat mematenkan apa yang memang menjadi milik kita. Tidak usah jauh-jauh, sekedar memakainya pun kita enggan, sekedar bangga padanya pun juga masih sangsi. Lalu salahkah bangsa lain merebut kebudayaan itu?

                Beberapa orang yang berinisiatif mempromosikan budaya Indonesia lalu bermunculan.  Batik pun sekarang dikreasikan dalam berbagai rupa, warna dan corak. Canting dan malam pengrajin batik semakin giat menggoreskan pola di sehelai kain  batik . Kita bisa melihat perkembangan pesat dari batik dengan ditemukannya usaha toko batik, butik batik, bahkan  batik online dimana mereka bisa berbelanja batik melalui koneksi internet. Selain penjualan batik yang kian menjamur, internet pun kini telah menjadi wadah untuk mempromosikan batik secara elektronik via blog , sebut saja www.berbatik.com, e-commerce batik pertama di Indonesia mengajak blogger menunjukkan kecintaan pada batik .
Kebudayaan bagi bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang sakral dan fundamental mengingat beragam rupa kebudayaan itu hadir, mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari. Sebut saja hal pokok yang dibutuhkan setiap manusia;  sandang, pangan, dan papan. Negeri beraneka aset budaya tak ternilai ini perlahan telah sadar akan potensi hal itu.
Bangsa barat saja mengapresiasi batik dengan bangga, lalu mengapa kita sulit bangga atas milik kita sendiri? Mulailah cintai budaya kita bukan karena kebudayaan itu hampir direbut bangsa lain, tapi memang karena kita mencintainya layaknya sesuatu yang memang ada di dalam diri kita. Tentu kita tidak harus menganut konsep “cinta tak harus memiliki” pada kebudayaan sendiri,bukan?
Ayo, mulailah berbatik dari sekarang, karena kalau bukan kita, siapa lagi?
Salam Batik! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar