Kita kembali dipertemukan.
Dalam sebuah dimensi yang dinamakan “waktu”. Diantara kepingan peristiwa yang
tak berhenti membayangi, menguntit kemana kaki melangkah, tersenyum pada hati
yang terluka, yang dipersepsikan sebagai “kenangan”. Melalui sebuah cara tak
terduga, langsung dari tangan Tuhan yang disebut “takdir”. Lalu, apakah ini yang
dimaksud “jodoh” olehmu tadi? Aku kembali merenungi ucapanmu. Kau melafal cinta
dengan mudahnya―semudah kau menghapal nama latin tengkorakmu.Apakah
ini benar “cinta” ? Atau hanya sebagai benih luka yang ingin kau taburkan lagi?
Lagi-lagi aku ragu― apakah benar ini dirimu?
Aku memang masih memujamu―persis seperti dulu. Aku
pun terus setia merindumu―persis seperti dulu. Ya, semuanya persis seperti
dulu,saat kita masih bersama. Semua masih sama― kecuali rasa hatimu. Meski
ego yang merasuk dalam dada berlonjak kegirangan mendengarnya, tapi secuil
tempat sempit di relung hati meragu kata-katamu. Ya, aku tak mau lagi bercumbu
dalam cinta kelabumu. Aku ingin berhenti menggilai bayangmu. Aku sudah muak
merasakan bahagia semu yang kau cipta. Dan saat aku memutuskan berhenti― kau malah kembali,
merengek cinta itu lagi.
Hingga akhirnya kau
membuatku kembali meragu― membuatku merasa terluka lagi. Proses “format”
hati tersendat oleh kehadiran virus cintamu. Bagian hati mana lagi yang ingin
kau rampas? Lobus sinistra? Belum cukup puaskah kau memiliki lobus dextra
bahkan jantungku yang selalu kau permainkan denyutnya? Atau kau memang ingin
membuatku memberikan semuanya, lalu kau tinggal pergi lagi?
Aku masih ingat betapa “bahagia”nya
kau saat memiliki manequin hidup seperti diriku. Yang bisa kau permainkan
seenaknya, yang kau bisa datangi sesukanya lalu ditinggal seenaknya. Aku dulu
memang bodoh-buta karena cinta palsumu. Sarafku selalu dikendali olehmu.
Memoriku selalu memutar gambar dirimu setiap detik, hingga ku pikir tak ada hal
lain di dunia ini selain dirimu. Aku memang setara dengan pasien
schizoprenia,yang tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan.
Aku terdiagnosis waham,yang meyakini hal yang tidak masuk akal― asal itu diucap olehmu.
Lalu aku tersandung―dalam sebuah kenyataan. Aku
harus melupakan agar berhenti tersakiti. Mengertilah, aku begini karenamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar