aku ingin menghambur ke arahnya.
memeluknya.
mengatakan aku begitu merindunya.
mengikrarkan aku telah jatuh cinta padanya.
membisikkan bahwa dia telah memilikiku seutuhnya
tapi tak mungkin.
dia tak ingin memelukku.
dia tak sedikitpun merinduku.
dia mencinta orang lain.
patah.
hatiku patah.
tiada yang sanggup memungut serpihannya.
aku tak sanggup membayangkannya.
dia menggandeng wanita lain.
dia memeluk seseorang, bukan aku.
aku membencinya, namun aku merindunya.
memeluknya.
mengatakan aku begitu merindunya.
mengikrarkan aku telah jatuh cinta padanya.
membisikkan bahwa dia telah memilikiku seutuhnya
tapi tak mungkin.
dia tak ingin memelukku.
dia tak sedikitpun merinduku.
dia mencinta orang lain.
patah.
hatiku patah.
tiada yang sanggup memungut serpihannya.
aku tak sanggup membayangkannya.
dia menggandeng wanita lain.
dia memeluk seseorang, bukan aku.
aku membencinya, namun aku merindunya.
***
Mari
kita bercerita tentang kisah dan seteguk kopi yang kunikmati lamat-lamat di
depan jendela besar itu. Hari itu sedang turun hujan dan kita sengaja singgah
di salah satu kedai kopi untuk berteduh. Kamu memesan frapucino sedangkan aku pasti
akan memilih secangkir kopi hitam dengan sesendok gula. Tidak sampai sepuluh
menit, pesanan kita akhirnya tiba. Kopi itu akhirnya menemaniku mengenang
tentang segala hal yang mengitari hidup kita dengan indah. Tentang asa dan
impian. Tentang butir-butir hujan yang memenuhi lekukan dedaunan.Tentang senja
yang memerah di ufuk barat. Tentang kisah Cleopatra dan Julius Caesar. Kisah
yang tak habis termakan jaman. Kini kukembalikan kenanganmu tentang bagaimana
mereka bertemu, bertukar seulas senyum, berpadu, lalu dijatuhi cinta. Mereka
yang ada di dua kubu berbeda, namun memiliki rasa yang sama. Ketika segala hal
dilingkupi oleh rasa berjuta warna itu, pasti kamu akan merasa jutaan kupu-kupu
memenuhi perutmu. Begitu juga yang terjadi pada mereka. Tapi mereka berbeda,
jelas berbeda, namun segala hal akan terasa sama, cinta. Pernahkah kau dengar
bagaimana sulitnya pergulatan hati sang kaisar Romawi itu antara tahta dan
cinta? Iya, cinta memenangkan segalanya. Selalu.
Dunia memang memandang kisah itu
sebagai picisan biasa. Omong kosong. Salah satu taktik Cleopatra agar Romawi
tak berusaha menjatuhkan kedudukannya sebagai ratu Mesir. Namun bagiku cinta tetaplah cinta, sekalipun
diawali dengan kebohongan dan tipu muslihat. Ia akan mengalir apa adanya,
menjatuhkan pilihan pada seseorang yang ada diluar dugaan kita. Ya,
kadang-kadang dahi kita akan berkerut saat semakin jauh kita membaca setiap
sejarah yang terukir dalam papyrus itu. Namun, yang perlu kau tahu adalah bahwa
cinta itu tak bisa dikelabui, cinta itu memang tidak punya mata, namun ia
memiliki hati. Ia kadang dimiliki orang yang salah, namun tidak dengan cara
yang salah. Yang perlu kita luruskan adalah bagaimana agar cinta itu membuat
orang yang salah bersikap dengan cara yang benar, karena cinta akan selalu
menyempurnakan setiap jengkal kehidupan.
Aku yang haus karena telah bercerita
panjang lebar padamu, lalu kembali meneguk sisa kopi itu. Kopi itu awalnya
manis, kental dan hangat. Namun, semakin kuteguk habis isinya, rasa pahit dan
dingin mulai menyerang ujung lidahku, memenuhi kerongkonganku. Kopi hitam itu
akhirnya tinggal seteguk lagi, namun kisah ini masih sangat panjang, jelas aku
harus menyediakan puluhan cangkir kopi hitam agar aku bisa menuangkan semuanya
dari awal sampai akhir. Aku akan melanjutkan kisah mereka berdua lain hari,
saat kau dan aku punya waktu, rinai hujan dan puluhan cangkir kopi agar kisah
ini tak putus lagi. Di saat itu kita akan menikmati setiap kata yang keluar
dari bibirku dan semuanya akan terasa menyenangkan.
Kau mau secangkir kopi yang sama
atau malah menuangkan frapucino pesananmu ke cangkir kesayanganku?
Sam
memandang puas halaman akhir bab I di novel kelimanya. Novel yang rencananya ia
akan selesaikan dalam kurun waktu empat bulan. Saatnya ia merenggangkan
otot-otot bokong dan punggung yang terlalu lelah menopang tubuhnya. Sudah
seharian jemarinya menari diatas keyboard laptopnya.
Ia lalu
memandang lurus ke arah kalender di meja kerjanya. Tanggal 31 januari 2013
ditandai dengan spidol merah. Ada lambang hati terukir disana. Apa maksudnya?
Ia berusaha mencari memori yang
menyimpan seberkas data tentang hari itu. Semakin ia berusaha menggalinya,
denyutan kepalanya semakin menyiksa.
Ada
sesuatu yang hilang.Ya, sesuatu tentang hari itu. Ia sendiri tidak tahu apakah
yang hilang itu dan apakah itu penting atau tidak. Ia kemudian berjalan menuju jendela di
kamarnya, memandangi rinai hujan yang membasahi pekarangan rumahnya.
Tepat
saat itulah ia melihat Ghea masuk ke halaman rumahnya. Untuk alasan yang sepenuhnya
belum bisa ia pahami, senyum Ghea membuat hatinya yakin bahwa sesuatu yang
hilang itu ada hubungannya dengan wanita berambut panjang itu.
***
Ghea
menghembuskan nafas perlahan. Ia perlu menetralisirkan rasa sedih di dadanya
sebelum ia bertemu Sam. Hari ini adalah hari penting baginya dan juga Sam. Ia
sudah puluhan kali mengingatkan Sam tentang hari ini dan semoga Sam tidak
melupakannya.
Ia mengambil Rapunzel Cake yang ia beli di De patisserie untuk merayakan hari bersejarah ini. Tak lupa ia sudah memasukkan sepasang cincin ke dalam kue itu.
“ Kamu darimana?”
“Aku dari toko kue.” Ujar Ghea datar. “Kamu ingat hari ini hari apa?” ia melanjutkan.
“Hari selasa,”
“Kamu lihat kalender di meja kerjamu?”
“Udah. Tapi aku gak ngerti kenapa hari ini ditandai spidol merah. Apa ada sesuatu yang mesti kita rayakan?” tanyanya bingung. Jelas, kerutan di dahinya menyiratkan pertanyaan besar di hatinya.
“Sayang, hari ini anniversary kita yang ketujuh,” Ghea membelai lembut kepala Sam. Ia lalu mendekap erat Sam. Ada rasa sesak yang bergemuruh didadanya saat ia tahu Sam sama sekali tak mengingat hari pernikahan mereka. Rasa sesak itu lalu berganti bentuk menjadi butiran air mata yang mulai menetes di bahu Sam.
“Kamu marah ya? Maaf aku sama sekali nggak ingat. Kamu harus bantu aku mengingatnya,” ujar Sam seraya menghapus air mata yang jatuh di pipi Ghea.
Ghea mengangguk perlahan dan menyunggingkan seulas senyum. Ia tidak boleh bersedih atas keadaan Sam. Ia dulu pernah berjanji untuk selalu ada untuknya dan selamanya harus selalu disampingnya, membantunya mengisi kekosongan memori yang semakin hari semakin menggerus sisa kenangan itu.
Sam lalu sibuk memotong kue itu menjadi beberapa bagian dan mulai mengunyah habis potongan kue itu. Ghea hanya memandangi potongan kue miliknya tanpa berniat memasukkannya dalam mulut. Ia menunggu Sam menemukan surprise yang ia selipkan di kue itu.
Di potongan kue terakhir, ada sesuatu yang tak biasa. Ia berusaha melumatnya habis namun tak kunjung berhasil. Ia lalu memuntahkannya dan menemukan sepasang cincin keluar dari mulutnya.
“Punyamu?”
“Punya kita,” Ujar Ghea. Sam lalu memasangkan cincin itu ke jari manis Ghea dan begitu pula sebaliknya.
“I do love you ,” Sam lalu mengecup puncak kepala Ghea. Ada rasa hangat yang menjalar dari puncak kepalanya ke seluruh tubuh. Ia disesaki rasa bahagia yang amat sangat.
Sam sebenarnya tidak mengingat sama sekali hal itu. Tapi raut wajah Ghea yang menatapnya kecewa membuatnya tak tega membuat hati wanita itu terluka. Ada sesuatu yang lagi-lagi tak bisa ia pahami membuatnya melontarkan kalimat itu.
“Kamu
tahu apa yang kusuka? Tanya Ghea memecah keheningan.
“ Apa? Coba
beritahu aku, siapa tahu aku akan mengingatnya,”
“Aku
suka sekali kembang api, hujan, langit biru, dedaunan maple yang berguguran, bunga, dan permen kapas,”
Diam-diam,
Sam mencatat semua hal itu didalam hati dan berharap ia bisa terus
mengingatnya.
“Kau mau
jalan-jalan bersamaku?” tawar Sam.
***
31 Januari 2013. Tepat 8 tahun sejak kematian
Sam. Ia masih tidak bisa menerima apa yang terjadi pada Sam. Pria tampan itu
harus menghembuskan nafas terakhir tepat di saat ia dan Sam berjanji untuk
bertemu. Sam mengalami kecelakaan saat akan menjemput Lita. Ia seperti orang
gila saat itu. Ia tidak habis pikir dengan skenario Tuhan yang disodorkan
padanya.
Hari
ini, ia sengaja menyediakan waktu untuk bisa mengenang masa-masa itu. Saat Sam
masih ada, ia sering mengajak Lita menghabiskan sepanjang malam menyusuri pinggiran
sungai Musi. Tentu 8 tahun lalu tidak sebagus ini, lampu-lampu hias yang minim,
jalan-jalan yang masih belum tertata rapi dan terkesan amburadul. Riverside Restaurant pun belum berdiri
megah disana. Hanya ada warung-warung kecil di sekitarnya.
Ia
membawa beberapa bucket bunga untuk
ditawarkan pada pasangan muda-mudi yang sedang menikmati malam pergantian
tahun. Seandainya Sam masih ada, pasti ia akan sangat menyukai udara dingin
yang sedari tadi merayapi tubuhnya. Sam tentu akan langsung merapatkan jaketnya
dengan sempurna ketubuh Lita.
Tuhan, aku sungguh merindunya.
***
Sam ternyata mengajaknya ke Benteng Kuto Besak. Tempat itu kini dijejali beragam jenis pedagang makanan dan kerumunan orang yang tengah menunggu pesta kembang api. Padahal kalau hari biasa, hanya segelintir pedagang yang memenuhi tempat ini.
“Kau tunggu sebentar disini, ada sesuatu yang mesti aku beli,” pinta Sam yang dijawabnya dengan satu anggukan. Sam lalu pergi mencari penjual permen kapas dan bunga.
“Mbak, bunga mawarnya berapa?” tanya Sam pada si penjual bunga.
“25 ribu, Mas” jawab si penjual bunga sambil mengangkat wajahnya. Di saat itulah pandangan mereka bertemu dan entah mengapa ada sesuatu yang mendorong Sam berkata “ Kamu Lita, kan?”
Si penjual bunga terpaku. Ia nyaris tak percaya dengan sosok pria yang dilihatnya. Bukankah ia telah meninggal? Lalu jika ia telah meninggal, mengapa pria ini bisa mengenalinya?
“Maaf, Mbak. Saya ngawur,” ujar Sam sambil mengeluarkan selembar seratus ribuan.
Canggung, si penjual bunga mengambil uang tersebut dan mencari kembalian namun tidak menemukan pecahan yang pas.
“Ambil aja kembaliannya, Mbak,” Sam tersenyum lalu meninggalkan si penjual bunga itu dengan seribu tanya melingkupinya.
Sam
berjalan dengan gontai. Anehnya, pandangan terkejut wanita tadi kearahnya
membuatnya yakin bahwa wanita itu mengenalnya. Namun, bagaimana bisa wanita itu
mengenalnya? Toh, mereka baru pertama kali bertemu. Apa ada bagian dari
ingatannya yang terdegradasi tentang wanita itu? Ia menarik nafas dalam-dalam.
Yah, semoga itu tidak penting.
Ghea
sedang memandangi sungai Musi ―yang membelah kota Palembang menjadi daerah ulu
dan ilir― saat Sam kembali. Ia senang sekali Sam mau mengajaknya jalan-jalan
dengan inisiatif sendiri. Biasanya ia yang “memaksa” Sam pergi.
“Kamu
beli apa?”
“Lihat
saja sendiri,” ujar Sam dengan senyum penuh arti.
Ghea
lalu membuka bungkusan yang diberikan Sam padanya. Isinya sebungkus besar
permen kapas dan bunga mawar merah. Ia sungguh terharu dengan “hadiah” itu.
Baginya ini jauh lebih berarti dibanding apapun. Apapun lebih berarti bila
diberikan oleh Sam.
“Maaf
aku nggak bisa ngasih kamu langit biru , dedaunan maple yang berguguran dan kembang api. Tapi untuk yang terakhir,
kamu bisa saksikan walau bukan aku yang membuatnya. 1,2,3.....”
Treett
..... Treett...Tusss
Pendaran
cahaya warna-warni menghiasi langit malam hari itu. Untung hujan tadi sudah
mereda sehingga kembang api yang dipersiapkan tidak basah. Senyum Ghea terus
mengembang, sama seperti kembang api yang tak berhenti berkilau, mengisi langit
malam yang menghitam. Sam tersenyum melihat wanita itu bahagia. Tapi, rasa
bahagia itu hanya memenuhi sebagian kecil hatinya. Sisanya masih diliputi rasa
kosong. Ia tidak tahu siapa yang perlu mengisi ruang hati itu. Lita?
***
Lita
menatap laptopnya dengan muram. Peristiwa malam tahun baru di Benteng Kuto
Besak itu terus terngiang di otaknya seperti kaset kusut yang terus menerus
memutar adegan yang sama. Ia masih sangat mengenali wajah Sam, pria yang
dicintainya.
Wajah
itu masih sama, meski sekarang agak lebih tirus dan adanya kumis tipis yang
bertengger di atas mulutnya sedikit mengaburkan sosok Sam yang dulu dikenalnya.
Tapi jelas itu pasti Sam. Tahi lalat di telinga kiri pria itu tak bisa
membohonginya. Ia tahu persis tahi lalat itu hanya milik Sam Sandjaya seorang.
Lalu,
kenapa Sam terlihat canggung? Tak memberitahu kabarnya selama ini? Apa dia
sudah menikah dan itu artinya ia sudah benar-benar melupakannya? Berbagai
prediksi muncul di kepala Lita dan itu membuat kepalanya bertambah nyeri.
“Mbak,
bunga pesanan saya ada, kan?” pertanyaan seorang pelanggannya membuatnya
tersadar dari lamunan itu.
“Ada,
sebentar ya, Mas,”
Ia lalu
bergerak ke sudut kanan toko bunganya. Disana berjejer bunga-bunga yang
terbungkus rapi, menunggu si pemesan datang. “Atas nama siapa ya, Mas?”
“Pak Sam
Sandjaya untuk Ibu Ghea Anastasya,”
Kepalanya
mendongak, memastikan bahwa apa yang didengarnya tidak salah.
“Pak Sam
Sandjaya?” tanyanya kembali dengan suara bergetar. Mungkinkah?
“Iya,
Mbak,”
Dadanya
bergemuruh, otot-otot tubuhnya melemas. Apa yang dilihatnya semalam memang pria
itu. Lalu kenapa ia seolah tak mengenalnya? Lalu kenapa ada nama Ghea
bersamanya?
“Ibu
Ghea , teman pak Sam?”
“Setahu
saya, mereka memang berteman akrab, lalu memutuskan menikah tujuh tahun yang
lalu,”
Mulutnya
terkunci, lidahnya kelu, dan otaknya tak bisa memikirkan apa-apa lagi. Waktu
seolah berhenti saat ia tahu, persahabatannya telah ternodai. Kenyataan ini
membuat hatinya patah. Ia benar-benar terluka.
***
Sam
menghabiskan harinya di depan laptop ditemani secangkir kopi hitam favoritnya.
Hari ini ia sudah hampir memasuki bab V novelnya. Tiba-tiba saja, ia memikirkan
senyum sang gadis penjual bunga. Senyum terpaksa, terkejut atau sedih? Ia
sungguh tak bisa memastikan arti senyum itu. Ia lalu menutup matanya perlahan,
membiarkan sel-sel otaknya mencari informasi tentang wanita itu. Nihil,
kenangan yang ia miliki hanya terbatas pada Ghea dan itupun hanya bisa dihitung
dengan jari.
Ia lalu
kembali melanjutkan menulis.
Rasanya lucu. Aku hanya mencintamu dalam
diamku. Tak pernah ada ungkapan cinta berlebihan. Hanya diam dan merasakan.
Janji-janji manispun tak pernah menyentuh sedikitpun gendang telinga. Aku hanya
bisa merindumu dalam senyumku. Setiap senyumku adalah pesan rindu tentangnmu.
Aku menyayangmu dalam anganku. Tak pernah sekalipun bersentuhan. Cukup tatapan
mata bisa membuat aku menggila. Begitulah caraku mencintamu. Tak penah
sekalipun tergerak untuk mengubah semuanya karena itu yang hanya bisa
kulakukan. Karena keberanian tak pernah mau menyentuh diriku. Ya.. engkau
hanyalah cinta, cinta terpendamku. Dan mungkin akan selalu jadi rindu, rindu
tak bertuanku. dan bisa jadi aku akan selalu jadi pengagum rahasiamu.
Dan
seseorang yang hanya ada dipikirannya saat ini adalah Lita, sang tokoh dalam
potongan novelnya. Entah apa yang merasuki otaknya saat itu, tapi sosok Lita
sangat melekat dipikirannya. Ia tidak tahu mengapa.
“Kamu udah
selesai, sayang?”
“Hmm,
belum. Masih mau ngerapiin beberapa halaman lagi,”
“Yaudah,
aku tunggu di meja makan, ya,” Ghea berbalik, namun Sam langsung menggamit
lengannya cepat. Ghea menyodorkan tatapan seribu tanya.
“Kamu
bisa beritahu aku siapa gadis yang bernama Lita?”
Pertanyaan
itu membuat udara disekitar Ghea menipis. Ia tersenyum kaku.
“Kamu
bertemu dengannya?” tanyanya hati-hati.
Sam
menggeleng ragu. “Justru itu aku tanyakan dia padamu. Aku bertemu dengan
seorang gadis yang kukenali sebagai Lita. Aku sendiri bingung kenapa aku bisa
memanggilnya Lita padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya. Bisa kau
jelaskan siapa dia?”
Ghea
berada dalam kebimbangan. Di satu sisi, ia sudah tidak sanggup lagi membohongi
Sam. Namun di sisi lain, perasaannya pada Sam membuatnya terus menerus berusaha
memupuk kebohongan agar Sam bisa terus bersamanya.
“Ghea?”
“Sebenarnya
dia teman lamaku. Aku pernah memperkenalkannya padamu. Waktu itu, saat pertama
kali melihatmu, ia memberitahuku bahwa aku harus hati-hati karena kapanpun ia
bisa merebutmu dariku,”
Kening
Sam berkerut. Ia tidak sepenuhnya yakin dengan apa yang baru saja dilontarkan
oleh Ghea. Namun keraguan itu tak ingin ia konfirmasi lebih lanjut. Ia hanya
menyimpannya dalam hati dan berusaha mencari tahu sendiri.
Di
tengah ketegangan itu, bel rumah mereka berbunyi.
“Assalamualaikum...”
ujar seseorang dari luar.
Ghea
memperpanjang langkahnya menuju pintu depan. Ia lalu membuka pintu dan
mendapati pegawai Sam datang dengan membawa bunga mawar.
“Ada apa
,ya”
“Ini,
Bu. Pesanan dari pak Sam buat Ibu,” ujar sang pegawai seraya memeberikat bucket bunga itu ke pemiliknya.
“Terimakasih..”
Desir-desir bahagia kembali memenuhi ruang hati Ghea.
“Siapa?”
Ghea
lalu mengalihkan pandangannya pada Sam. Pria itu sungguh misterius. Memang,
keadaan tubuhnya membuatnya tak bisa mengingat masa lalu dan mudah lupa akan
hal-hal yang baru saja dilakukannya. Tapi ia sungguh bahagia dengan kenyataan
itu walaupun kadang-kadang ada rasa sesak yang melingkupinya saat Sam tidak
mengenalinya. Ia bahagia karena pria itu sama sekali tidak mengingat Lita,
mantan kekasihnya.
“Pegawaimu.
By the way, thanks for this flowers. You
know me so well” Ghea lalu mendaratkan ciuman singkat ke pipi Sam. Ini
membuatnya yakin bahwa ia harus terus membohongi Sam agar kebahagiaan ini akan
selalu ada dalam hidupnya.
Saat
istrinya itu telah larut dalam mimpinya, Sam menekan beberapa digit di
ponselnya. Terdengar nada tunggu beberapa saat, dan kemudian seseorang
diseberang sana bersuara.
“Halo,
siapa ini?”
“Aku
Sam. Bisa kita bertemu besok?”
Yang
ditanya hanya menjawab dengan gumaman. Semoga kebenaran akan terungkap besok.
Ia mencatat pertemuannya besok di kalender kerjanya.
***
Sam
memilih duduk di sisi kiri kafe itu. Kafe ini belum ramai, hanya diisi oleh
segelintir orang. Masih sepulut menit lagi sebelum waktu janjian. Ia lalu
memesan secangkir kopi. Tepat saat ia menoleh ke arah pintu masuk, sosok Lita
muncul. Gadis itu mengenakan jeans dengan kemeja berwarna khaki, dipadu dengan
high heels 10 sentimeter dengan warna senada. Ia lalu melambaikan tangan.
“Sudah
lama?”
“Baru
saja,”
Ada
kebekuan diantara mereka. Kebekuan itu sedikit mencair saat pramusaji
membawakan pesanan Sam. “Kamu mau pesan apa?”
“Strawberry smoothies satu , Mas,”
“Ada yang
perlu kita bicarakan?”
Sam
membuka mulut “ Banyak. Tapi bisa kau beritahu aku apakah sebelumnya kita
pernah saling mengenal?”
Lita
mengangguk pelan. “ Kamu benar-benar tidak mengingatku?” Sam balas mengangguk.
“Aku
akan menceritakan semuanya padamu tapi kau harus janji untuk tidak menyela saat
aku bicara,”
Dan
akhirnya cerita itu mengalir. Mulai dari pertemuan pertama mereka, kisah cinta
mereka, rencana mereka menikah dan kecelakaan yang dialami oleh Sam. Sam hanya
bisa mengingat saat dia terbaring di rumah sakit dengan perban dikepalanya. Dan
akhirnya terjawab sudah, apa kekosongan yang selama ini ada dihatinya. Sosok
Lita. Sosok Lita telah sedemikian rupa disabotase oleh Ghea sehingga ia
benar-benar tidak mengenal lagi sosok Lita.
“Aku
diberitahu oleh Ghea bahwa kamu sudah meninggal,”
“Tidak
mungkin..”
“Terserah
kau mau percaya atau tidak, aku tidak peduli,”
“Jadi,
bagaimana?”
“Bagaimana
apanya?’ ujar Lita balik bertanya.
“Tentang
kita. Apakah ada harapan untuk kita bersama?”
Lita
menggeleng. “Kau sudah punya dunia sendiri,”
“Duniaku
adalah duniamu juga,”
“Maksudku
kamu telah memiliki Ghea. Bahagiakanlah dia..”
“Lalu,
kamu?”
“Aku?
Kau tak perlu repot-repot memikirkanku. Kau sungguh tak perlu memilihku. Cukup
tahu keberadaanku dan berbahagialah dengan atau tanpaku,”
“Kamu
tidak menyesal dengan keputusanmu?”
Lita
menggeleng lagi. “ Aku sudah cukup bahagia karena kamu telah mengingatku
sebagai bagian dari masa lalumu,”
“Masa
lalu terindah. Yang teringat olehku adalah saat ada senyum yang merekah saat
ribuan kembang api berlomba-lomba menari di langit, apakah itu senyum milikmu?”
“Iya.
Karena dulu kamu selalu tahu apa yang kusuka,”
“Kamu suka
sekali kembang api, hujan, langit biru, dedaunan maple yang berguguran, bunga, dan permen kapas, betul tidak?”
Lita
terkejut, ia benar-benar tidak menyangka Sam masih mengingat hal kecil itu.
“Kau
benar-benar mengingatnya?” Sam tersenyum penuh arti.
“Terima
kasih karena kau masih mengingatku.”
***
“Aku
mencintaimu,Sam. Sungguh aku tidak bermaksud membohongimu,”
“Kau
sungguh tega, Ghea. Membohongiku, mengarang cerita palsu tentang kematianku,
dan berpura-pura menjadi Lita. Maumu apa? Membodohiku? Menjadikanku boneka yang
bisa kau mainkan sesuka hati?”
“Sungguh,
aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya terlalu mencintaimu.”
“Persetan
dengan cinta. Kau hanya memenuhi ego busukmu saja! Kau tidak benar-benar
mencintaiku,”
“Aku
tahu apa yang kulakukan ini salah. Tapi apa juga salahku jika aku memujamu? Apa
aku harus memilih orang yang tepat untuk kujatuhi cinta? Tidak , Sam. Cinta tak
pernah memilih kepada siapa ia harus ada. Aku juga tidak mau merusak
persahabatanku. Tapi cinta ini begitu menyakitkan, Sam. Aku harus melukai
sahabatku agar cinta ini tidak hancur,”
“Aku
sudah bertemu dengan Lita. Ia menceritakan semuanya padaku. Semua
kebohonganmu,”
“Kamu
percaya padanya?”
“Tentu
saja, aku lebih mempercayai kata hatiku ketimbang mulut busukmu!”
“Kumohon,
Sam. Maafkan aku...”
“Jika
bukan karena Lita yang merengek-rengek padaku agar aku tetap bersamamu, aku
pasti akan lebih memilihnya. Ia sudah cukup menderita karenamu,”
“Maksudmu?”
“Aku
memaksanya untuk tetap bersamaku. Namun ia menolak dan mengatakan agar aku
lebih baik bersamamu. Kamu harus bersyukur memiliki sahabat sebaik dia,”
Ghea
mengangguk setuju. Terima kasih, Lita.
By: @mirandakazuto (Riski Miranda Putri)